Kamis 28 Mar 2019 17:56 WIB

Majelis Ormas Islam Tolak RUU P-KS

Penolakan terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual didasari sejumlah argumen.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Hasanul Rizqa
Ketua Presidium Majelis Ormas Islam Mohammad Sidik (kanan) bersama Dosen Pemikiran dan Pendidikan Islam Sekolah Pascasarjana UIKA Bogor Wido Supraha (tengah) dan Advokat dan Konsultan Hukum Helmi Al Djufri (kiri) memberikan paparan saat seminar di Gedung Menara Da'wah, Jakarta, Kamis (28/3).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Ketua Presidium Majelis Ormas Islam Mohammad Sidik (kanan) bersama Dosen Pemikiran dan Pendidikan Islam Sekolah Pascasarjana UIKA Bogor Wido Supraha (tengah) dan Advokat dan Konsultan Hukum Helmi Al Djufri (kiri) memberikan paparan saat seminar di Gedung Menara Da'wah, Jakarta, Kamis (28/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Ormas Islam (MOI) mendeklarasikan penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS). Majelis tersebut menolak rancangan beleid itu disahkan menjadi undang-undang karena RUU tersebut dinilai memuat unsur tertentu, yang dapat merusak moral.

"Penolakan ini didasarkan oleh keprihatinan kami bahwa materi dalam RUU tersebut dapat merusak sendi-sendi moral bangsa dan tatanan keluarga Indonesia," ujar Ketua Presidium MOI Mohammad Siddik saat membacakan deklarasi di gedung Dewan Dakwah, Jakarta, Kamis (28/3).

Baca Juga

Siddik menyampaikan, pihaknya merasa berkewajiban untuk mengingatkan publik, khususnya umat Islam. RUU itu dipandang bisa berdampak buruk bagi moralitas bangsa. Lebih lanjut, dia mengatakan, banyak ketidakjelasan di dalam isi RUU P-KS.

"Dan untuk alternatifnya, kami akan bahas lebih lanjut," kata dia.

Sebelum deklarasi itu, MOI terlebih dulu menggelar seminar yang bertema "Bahaya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual". Acara ini diisi dua pembicara, yakni advokat PAHAM Indonesia cabang DKI Jakarta, Helmi Al Djufri dan kemudian dosen UIKA Bogor, Wido Supraha.

 

Argumentasi Penolakan

Dosen UIKA Bogor Wido Supraha mempermasalahkan naskah akademik dalam penyusunan RUU P-KS. Menurut pengajar matakuliah pemikiran dan pendidikan Islam itu, naskah tersebut memuat berbagai hal yang batil. Maka dari itu, dia mengaku tidak akan sepakat dengan RUU P-KS.

"Kalau naskah akademiknya batil, maka UU-nya pun bathil," kata Wido Supraha dalam diskusi tersebut, Kamis (28/3).

Wido menuturkan, poin yang paling berbahaya dalam RUU tersebut adalah pasal 1 bab 1. Isinya tentang definisi kekerasan seksual. "Dari situ akarnya, di mana ada dua hal utama yaitu relasi kuasa dan relasi gender," tuturnya.

Wido memaparkan, Islam menolak teori relasi kuasa yang dibangun oleh Barat sebagaimana diambil dalam RUU ini. Islam, lanjut dia, pun menolak diksi gender. Sebab, Allah SWT hanya menciptaka dua jenis kelamin yang saling berpasangan, yakni laki-laki dan perempuan. Masing-masing dengan orientasi seksual yang tertuju pada lawan jenis.

"Berdasarkan itulah (pasal 1 bab 1) kemudian muncul pasal-pasal lainnya, maka saya kira, yang paling penting itu adalah pasal 1 bab 1. Jadi yang pasal 11 dan 12 itu hanya turunan saja, akarnya ada di relasi kuasa dan relasi gender di pasal 1 bab 1," papar dia.

Dalam uraiannya terkait pasal 12 RUU P-KS, Wido mengilustrasikan orang tua yang mempunyai anak. Orang tua tersebut membatasi anaknya di dalam rumah supaya tidak berpacaran. Berdasarkan pasal 12 RUU P-KS, maka orang tua tadi bisa saja dikenakan ancaman pidana.

Di tempat yang sama, Helmi Al Djufri dari Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia (PAHAM) menjelaskan, RUU P-KS menghilangkan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum.

Selain itu, dia menilai, RUU tersebut memandang agama dan moral sebagai sumber-sumber terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Misalnya, dalam aspek pemaksaan busana dan hubungan.

Tak hanya itu, lanjut Helmi, RUU tersebut pun berfokus pada penindakan kekerasan seksual, bukan pada akar terjadinya kekerasan seksual.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement