Jumat 15 Mar 2019 13:58 WIB

Kaidah Fikih tentang 'Cashback' dari Penggunaan Uang Virtual

Fikih mengatur ketentuan tentang 'cashback' mana yang boleh diambil.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Hasanul Rizqa
Uang kripto (ilustrasi)
Foto: pixabay
Uang kripto (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat terutama di perkotaan akrab dengan transaksi dalam jaringan (daring/online). Uang yang dipakai tidak lagi berwujud kertas, tetapi sudah virtual. Istilah yang marak untuk itu adalah uang elektronik atau e-money.

Penyedia layanan e-money juga gencar memberikan potongan harga, dengan tujuan konsumen lebih tertarik menggunakan uang virtual yang dikelolanya. Berbagai promosi tampil dalam rupa-rupa cara, termasuk kembalinya uang (cashback) ke konsumen dalam jumlah tertentu.

Baca Juga

Bagaimana Islam memandang cashback dari penggunaan uang virtual? Menurut pakar fikih dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) Ustaz Oni Sahroni, promosi berupa cashback itu diperbolehkan dengan syarat-syarat. Dalam hal ini, cashback bisa terjadi dalam transaksi jual beli, sewa, atau bagi hasil.

"Maka cashback diperkenankan dalam Islam dengan syarat bukan modus pinjaman berbunga, dan ada kejelasan harga barang diperjualbelikan," kata Ustaz Oni Sahroni kepada Republika.co.id, Jumat (15/3).

Namun, dalam transaksi utang-piutang, ada hal yang perlu diperhatikan. Jika cashback diterima oleh si kreditor setelah dia melaksanakan syarat-syarat tertentu yang diajukan si pemberi pinjaman, maka cashback itu menjadi riba. Adapun jika tidak ada syarat-syarat yang diajukan pemberi pinjaman, kata Ustaz Oni, maka itu statusnya hadiah.

Sebagai contoh, ketika A menjual ponsel baru kepada B seharga Rp5 juta. Setelah B membayar kepada A sebesar Rp5 juta dan menerima ponsel itu, lantas A memberikan uang Rp 200 ribu kepada B. Cashback sebesar Rp 200 ribu itu merupakan hadiah, sehingga boleh diterima.

Contoh berikutnya adalah beberapa produk bank syariah, seperti tabungan berhadiah dan deposito parsel berbasis akad mudharabah (untuk nominal deposito tertentu, seperti minimal Rp1 miliar) karena tiap bulan tetap mendapatkan bagi hasil sesuai nisbah.

Nasabah pemilik modal kemudian mendapatkan cashback dengan syarat dana nasabah ditahan (hold) dalam periode tertentu. Cashback itu berasal dari dana atau keuntungan yang telah menjadi hak si pemberi cashback.

"Dalam fikih, cashback yang dibolehkan tersebut dikategorikan sebagai merelakan sebagian haknya (at-tanazul ‘anil haq) karena alasan marketing dan sejenisnya," jelas dia.

"Pada prinsipnya, dalam muamalah itu mubah kecuali ada dalil yang melarangnya. Dan hadits Rasulullah SAW: 'Kaum muslimin harus memenuhi setiap syarat (perjanjian) di antara mereka', hadits Abu Daud 3596 dan dishahihkan al-Albani," sambung Ustaz Oni.

Dia juga mengingatkan adanya fatwa DSN MUI No.86/DSN-MUI/XII/2012 tentang Hadiah dalam Penghimpunan Dana Lembaga Keuangan Syariah. Di dalamnya, memberikan sejumlah syarat. Pertama, hadiah itu tidak boleh berbentuk uang, agar tidak menjadi rekayasa praktik pinjaman berbunga.

Kedua, cashback yang diberikan peminjam dalam transaksi utang piutang, jika dipersyaratkan, akan menjadi bunga. Itu sesuai kaidah yang berbunyi, "Setiap manfaat yang diterima oleh kreditur atas jasa pinjamannya kepada debitur itu termasuk riba." Perkara itu biasanya berlangsung di bank-bank konvensional. Misalnya,

nasabah membuka deposito dengan bunga enam persen. Namun, bank akan memberikan cashback tambahan 0,5 hingga satu persen dalam bentuk tunai.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement