Selasa 12 Feb 2019 15:34 WIB

MUI Minta Pengesahan RUU P-KS Ditunda

Yunahar khawatir bila RUU P-KS justru memberi ruang legitimasi pada LGBT dan zina

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Hasanul Rizqa
Waketum MUI Prof Yunahar Ilyas Lc MA dan Waketum MUI Drs. Zainut Tauhid Saadi MSi memimpin rapat Dewan Pimpinan Harian MUI di Gedung MUI Pusat, Jakarta, Selasa (12/2). Dok Istimewa
Foto: Istimewa
Waketum MUI Prof Yunahar Ilyas Lc MA dan Waketum MUI Drs. Zainut Tauhid Saadi MSi memimpin rapat Dewan Pimpinan Harian MUI di Gedung MUI Pusat, Jakarta, Selasa (12/2). Dok Istimewa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) menanggapi polemik yang terjadi seputar pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS). Wakil Ketua Umum MUI Prof Yunahar Ilyas menegaskan, pihaknya meminta pemerintah dan DPR agar dapat menunda pengesahan RUU P-KS sebelum RUU KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) rampung.

Yunahar meneruskan, pihaknya juga menemukan masih banyak permasalahan di dalam materi RUU PKS. Hal itu mulai dari pendataan filosofis, paradigma, hingga benturan dengan undang-undang lain.

“Jadi, MUI minta supaya di-pending saja, tidak usah buru-buru,” kata Yunahar Ilyas saat ditemui Republika.co.id usai rapat rutin para pimpinan MUI di Gedung MUI Pusat, Jakarta, Selasa (12/2).

Berdasarkan hasil rapat hari ini, lanjut dia, MUI menilai pertimbangan yang digunakan selama ini oleh pembentuk RUU P-KS hanya memakai paradigma hak asasi manusia (HAM), gender, dan kekuasaan.

Nilai-nilai lain dirasakannya tidak begitu dipertimbangkan oleh pihak-pihak terkait. Misalnya, nilai-nilai agama, moral, keamanan, ketertiban umum, serta budaya yang berkembang di tengah masyarakat Indonesia.

Lebih lanjut, Yunahar mengaku khawatir bila RUU P-KS justru memberi ruang legitimasi pada berkembangnya perilaku seksual yang menyimpang, semisal lesbian, biseksual, gay, dan transgender (LGBT).

"Jadi RUU P-KS ini tidak menyinggung masalah perzinahan, LBGT, dan tindakan penyimpangan seksual lainnya. Bahkan, tersirat kalau orang yang punya kecenderung seksual yang menyimpang tidak boleh disalahkan,” ujar Yunahar.

Menurut dia, sebaiknya pemerintah dan DPR dapat memperbaiki terlebih dahulu pemahaman mengenai zina dan kesusilaan. Yunahar juga menyarankan adanya peraturan mengenai hubungan seksual di luar nikah, baik yang dilakukan oleh sesama jenis maupun lawan jenis.

“DPR bisa saja bilang, kalau RUU ini ada masalah akan di-review (di Mahkamah Konstitusi --Red). Itu berarti UU-nya tidak baik. UU yang baik itu dipersiapkan dengan matang, bukan asal dibuat,” tegasnya.

Seperti diketahui, Komisi VIII DPR-RI telah menargetkan pembahasan draf Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) dilakukan usai pemilihan presiden (Pilpres) atau sekitar bulan Mei 2019 mendatang. Saat ini, Komisi VIII DPR masih melakukan dengar pendapat dari berbagai pihak yang kompeten.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement