Jumat 08 Feb 2019 23:46 WIB

Inilah Faktor Pengikat Keislaman Indonesia dan Uzbekistan

Banyak karya-karya ulama Uzbekistan yang diajarkan di pesantren Indonesia.

Rep: Muhyiddin/ Red: Nashih Nashrullah
 Pameran foto berjuluk Uzbekistan sebagai Negeri Para Imam  di Bayt Al-Quran dan Museum Istiqlal, TMII, Jakarta Timur, Kamis (7/2).  Pameran ini akan berlangsung 10 hari hingga 17 Februari mendatang.
Foto: Republika/Muhyiddin
Pameran foto berjuluk Uzbekistan sebagai Negeri Para Imam di Bayt Al-Quran dan Museum Istiqlal, TMII, Jakarta Timur, Kamis (7/2). Pameran ini akan berlangsung 10 hari hingga 17 Februari mendatang.

REPUBLIKA.CO.ID, Melacak hubungan intelektualitas antara umat Islam di Indonesia dengan Uzbekistan salah satunya bisa ditempuh melalui karya-karya ulama besar dari negara di Asia Tengah itu. 

Setidaknya ada lebih dari puluhan ulama besar dalam berbagai bidang keilmuan yang lahir di Uzbekistan. 

Mereka lahir di Kota Bukhara, Samarkand, Tashkent, Termez, Khiva, dan beberapa kota lainnya. 

Menurut, Rektor kampus Institut Agama Islam Al Falah Assuniyyah Jember, Rijal Mumaziq, karya ulama-ulama besar tersebut banyak yang diajarkan di Nusantara. 

"Jaringan ulama Uzbekistan itu kemudian secara geneologi keilmuan meninggalkan jejak yang sangat luar biasa di Indonesia. Saya contohkan kitab yang dikaji di beberapa pesantren," ujarnya dalam seminar bertema "Jejak ulama Uzbekistan di Nusantara" di Bayt Al-Quran dan Museum Istiqlal, TMII, Jakarta Timur, Kamis (7/2).

Ia menjelaskan, di antaranya, yaitu kitab berjudul Suluk Asmara yang diduga tulisan Syekh Ibrahim As-Samarkandi. Kemudian, karya ulama besar lainnya tentu saja Shahih Bukhari yang ditulis Imam Bukhari yang berasal dari Kota Bukhara, Uzbekistan. Selain itu, ada juga kitab Sunan at-Tirmidzi yang dikarang Imam at-Tirmidzi yang berasal dari Kota Termez, Uzbekistan.

Ulama Indonesia yang mendapatkan ijazah untuk mengajarkan kitab Shahih Bukhari adalah pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH Hasyim Asy'ari. 

Sampai saat ini, tradisi pengajian Kitab Shahih Bukhari masih berjalan di Pondok Pesantren Tebuireng yang didirikan Kiai Hasyim. 

Kemudian, ada juga kitab berjudul Bahjatul Ulum Syarah Aqidat al-Ushul yang ditulis ulama besar Uzbekistan, Abu Laits As-Samarqandi. Gus Ijal sendiri masih memiliki manuskrip kitab ini yang merupakan peninggalan kakeknya.  

Selain itu, risalah singkat Imam Abu Laits juga pernah diajarkan di Indonesia, yang berjudul Masail Abi Laits

Risalah ini kemudian diberi uraian oleh Syekh Nawawi al-Bantani, yang merupakan kakek Ketua Umum Majelis Ulama Indonedia (MUI), KH Ma'ruf Amin.

Sementara, kitab Karya Imam Abu Laits paling populer yang diajarkan di nusantara adalah kitab Tanbihul Ghafilin, yang artinya peringatan bagi orang-orang yang lalai.   

Kitab tasawuf ini banyak digunakan dalam pengajian-pengajian resmi di beberapa pesantren, maupun bahan baku ceramah para mubaligh.

"Ini adalah beberapa kitab populer karya ulama Uzbekistan yang ada di Nusantara," jelasnya. 

Namun, tambah dia, ketika Uzbekistan dikuasasi oleh komunis pada abad ke-20, ternyata tidak ada lagi ulama yang terhubung dengan nusantara, kecuali satu orang ulama. Yaitu, Syekh Yasin bin Isa al-Fadani (1916-1990).

Syekh Yasin merupakan ulama yang menjadi guru besar di bidang hadis di Masjid al-Haram keturunan Minangkabau. Dia memiliki seorang guru dari Bukhara, Uzbekistan, yang namanya Syekh Abdulllah bin Muhammad Niyazi al-Bukhari. 

"Ini satu-satunya saja. Ini membuktikan transmisi keilmuan antara ulama Uzbekistan dan ulama Nusantara itu perlu kita perkuat lagi. Karena ada mata rantai yang terputus," tutupnya. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement