Selasa 29 Jan 2019 18:18 WIB

Ibu Sebagai Pendidik

Kebahagiaan dirasakan orang tua saat anak-anaknya menjelma menjadi sosok yang sukses.

Ibu dengan anaknya/ilustrasi.
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Ibu dengan anaknya/ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebahagiaan dirasakan orang tua saat anak-anaknya menjelma menjadi sosok yang sukses. Tak hanya dalam kehidupannya, tetapi juga akhlak mulia yang mereka jalankan di tengah masyarakat. Ibu mempunyai peran penting mengantarkan anak-anaknya ke jenjang kesuksesan. 

Menurut Haya binti Mubarok al-Barik dalam bukunya Ensiklopedi Wanita Muslimah, mengatakan, ibu adalah inti di tengah rumah tangga dan masyarakat. Ibu juga pemberi pengaruh yang kuat bagi anak-anak. Baik melalui perkataan, keteladanan, cinta, maupun kasih sayang yang dimilikinya. 

Anak-anak biasanya menyerupai ibunya dalam berbagai hal. Jika ibu menjalankan hukum Allah SWT dan memiliki akhlak terpuji, anak-anaknya akan mengikutinya,” kata Haya. Demikian juga sebaliknya. Jika akhlak ibu buruk, anak-anaknya tumbuh dengan sifat-sifat yang buruk pula. 

Ia pun mengutip syair menggambarkan kondisi tersebut, Adakah kesempurnaan bisa diharapkan dari anak yang menyusui dari ibu yang tiada sempurna?” Dengan demikian, sangat penting bagi orang tua, terutama ibu, untuk menanamkan kebiasaan baik sesuai ajaran agama kepada anak-anaknya sejak dini. 

Sebab, saat usia dini mereka akan menerina pengaruh dari orang-orang dewasa yang dekat dengannya, tentu saja ibu, dan menirunya. Haya menyodorkan satu hadis mengenai begitu besarnya pengaruh orang tua terhadap anaknya. Sebab, mereka berdualah yang menentukan arah hidup anak-anaknya kelak. 

Abu Hurairah menyatakan, Rasulullah menyampaikan sabdanya bahwa setiap anak dilahirkan berdasarkan fitrah. Lalu, kedua orang tuanyalah yang membuatnya memeluk agama Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Dengan demikian, kata Haya, seorang ibu dituntut mampu menumbuhkan prinsip dan akhlak Islam dalam diri anak-anaknya. 

Dalam konteks ini, Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menegaskan, anak adalah amanat bagi orang tuanya. Si anak bisa menerima bentuk dan corak apa pun yang diinginkan ibu juga ayahnya. Jika anak dibiasakan tumbuh dalam kebaikan, kebaikan itu mengiringinya terus. Pahala kebaikannya juga bisa dinikmati orang tuanya.”

Tugas pertama ibu bagi anak-anaknya adalah mengajarkan dasar-dasar agama yang lurus, menyemai benih keimanan dalam diri anaknya, mengenalkan pencipta alam semesta, para nabi, dan makhluk-makhluk Tuhan. Saat menginjak usia balig, jelas Haya, maka saatnya pula diajarkan halal dan haram. 

Melalui pengajaran itu, ujar Haya, saat dewasa anak-anak itu akan mampu meninggalkan yang haram dan hanya mengonsumsi atau hanya mengambil nafkah yang statusnya halal. Ia menyampaikan sebuah pengalaman yang pernah dialami oleh Sahl bin Abdullah at-Tusturi, soal teladan yang baik bagi anak. 

Saat Sahl berusia tiga tahun, ia terbangun di tengah malam dan memperhatikan shalat yang dilakukan pamannya, Muhammad bin Sirar. Suatu hari Muhammad bertanya pada Sahl mengapa dia tak mengucapkan nama Allah yang menciptakannya. Sahl bertanya bagaimana cara melakukannya. 

Lalu, Muhammad pun mengajarinya. Berucaplah tiga kali di dalam hati tatkala engkau hendak tidur tanpa menggerakkan lidahmu. Allah bersamaku, Allah melihatku, Allah menyertaiku,” demikian Muhammad bin Sirar memberikan pengajaran kepada kemenakannya, Sahl bin Abdullah at-Tutsuri. 

Penting bagi ibu untuk memberikan teladan baik bagi anak-anaknya. Cendekiawan Abdullah Nashih Ulwan melalui bukunya, Tarbiyatul Aulad, mengungkapkan, keteladanan dalam pendidikan menjadi cara paling efektif dan berpengaruh dalam mempersiapkan anak. Baik dalam hal akhlak, pembentukan jiwa, maupun kehidupan sosialnya. 

Dalam buku Mulai dari Rumah Syekh Muhammad al-Ghazali  menyebutkan, ibu adalah sekolah. Merujuk pada peran ibu itu, ia mengatakan, kebudayaan yang maju memberikan perhatian besar pada pembinaan generasi muda melalui pendidikan yang baik. Ia pun mengatakan, pada masa-masa lalu peranan ibu dalam mendidik anaknya sudah tinggi. 

Ia memberikan gambaran besarnya kebanggaan yang merasuk pada diri seorang ibu kepada anak-anaknya. Melalui syairnya, kata al-Ghazali, Umrat al-Khats’amiyyah mengubah kesedihan karena kehilangan dua putranya dalam peperangan dengan rasa bangga karena telah menanamkan keberanian pada diri mereka. 

Ibu sebatang kara itu, jelas dia, berkisah pula mengenai kemuliaan yang diwujudkan putra-putranya dalam kehidupan serta tentang nilai-nilai luhur dalam perjuangan, pengorbanan, dan kesucian. Dengan syairnya, ibu tersebut mencoba menghidupkan kemuliaan dan kehormatan pada diri anak-anaknya itu. 

sumber : Dialog Jumat Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement