Jumat 25 Jan 2019 20:09 WIB

Relasi NU-Muhammadiyah dalam Kacamata Antropolog Amerika

Kedua organisasi massa Islam terbesar di Indonesia ini kini saling bersinergi.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Nashih Nashrullah
Ribuan umat muslim berdoa saat menghadiri Tabligh Akbar Majelis Rasulullah dalam peringatan Maulid Muhammad SAW 1440 H di Lapangan Monas, Jakarta, Selasa (20/11).
Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Ribuan umat muslim berdoa saat menghadiri Tabligh Akbar Majelis Rasulullah dalam peringatan Maulid Muhammad SAW 1440 H di Lapangan Monas, Jakarta, Selasa (20/11).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA— Hubungan antara ormas Islam Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) sangat dinamis. Keduanya sempat renggang dan tak jarang pula menunjukkan kemesraan.

Peneliti Arizona State University, Mark Woodmard, mengaku turut senang, kerja sama Muhammadiyah dan NU sudah semakin biasa terjalin. Padahal, jika menengok ke era sebelum 1998 saja, belum terlihat kerja sama ini bisa terjalin.

Terlebih, ia merasa, orde baru terus menjaga ketidakakuran Muhammadiyah dan NU. Woodmard menilai, itu lantaran persatuan Muhammadiyah dan NU dianggap bisa jadi ancaman politik bagi penguasa kala itu. 

"Pada 1978, ketika saya ke Indonesia, perkumpulan seperti ini masih tidak bisa terlaksana karena waktu itu hubungan Muhammadiyah dan NU kurang baik," kata Woormard  dalam Seminar "Islam Indonesia di Pentas Global: Inspirasi Damai Nusantara untuk Dunia" di Balai Senat, UGM, Yogyakarta, Jumat (25/1).

Kala itu, kata dia, walau level petinggi cukup bisa melakukan dialog-dialog, masih ada ketakutan ditingkatan akar rumput. 

Woodmard merasakan sendiri, di perkampungan Yogyakarta kala itu, ada ‘tembok tinggi’ yang membatasi keduanya.

Ibadah misalnya, Woodmard yang tinggal tidak jauh dari satu masjid Muhammadiyah melihat sendiri, bagaimana orang-orang NU tidak mau ibadah ke sana. Itu terjadi sebaliknya, saat orang-orang Muhammadiyah tidak mau ibadah ke masjid NU.

Selain itu, banyak perbedaan-perbedaan kecil yang dulu kerap dibesarkan. Beda jumlah shalat tarawih misalnya, yang dirasa tidak terlalu penting, bisa menjadi satu kasus perselisihan yang begitu besar.

Namun, semua berubah. Ia merasa, sejumlah kejadian menjadi latar belakang komunikasi terjalin lebih baik antara Muhammadiyah dan NU. Perjuangan pada masa reformasi misal, yang telah membuka ruang identitas baru bagi keduanya.

Kondisi itu terjadi lantaran adanya kesamaan tujuan, demokrasi. Bagi Woodmard, kerja sama yang terjalin antara Buya Syafii Maarif dan Gus Dur, menjadi satu proyek yang sangat penting dan bersejarah.

Hari ini, kerja sama menjadi satu peristiwa yang biasa. Bahkan, kolaborasi jadi salah satu lagkah yang kerap menjadi program-program yang tidak cuma dilakukan ditingkatan atas, tapi di akar rumput Muhammadiyah dan NU.

"Kompetisi sekarang ditransformasikan menjadi program-program yang baik, perbedaan yang dulu ada kini tidak terlalu penting," kata Woodmard.  

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement