Sabtu 06 Oct 2018 06:03 WIB

Mengenal Kitab Kuning dan Khazanah Keilmuannya

Istilah “kitab kuning” sudah melekat untuk menamai kitab-kitab keislaman tersebut.

Ilustrasi Kitab Kuning
Foto:

Sementara, dilihat dari kreativitas penulisannya, kitab kuning dapat dikategorikan menjadi tujuh macam. Pertama, kitab kuning yang menampilkan gagasan baru yang belum pemah dikemukakan oleh penulis-penulis sebelumnya, seperti kitab Ar-Risalah (tentang usul fikih) karya Imam asy-Syaft'i.

Kedua, kitab kuning yang muncul sebagai penyempurna terhadap karya yang telah ada, seperti kitab Nahw (tata bahasa Arab) karya Sibawaih yang menyempurnakan karya Abu al-Aswad Zalim bin Sufyan ad-Duwali. Ketiga, kitab kuning yang berisi komentar (syarh) terhadap kitab yang telah ada, seperti Fath al-Barri Sahih al-Bukhari, karya Ibnu Hajar al-Asqalani yang memberikan komentar terhadap Sahih al-Bukhari.

Selanjutnya, kitab kuning yang meringkas karya yang panjang lebar untuk dijadikan karangan singkat, tetapi padat, seperti kitab fikih Lubb al-Usul karya Syekh al-lslam Zakaria al-Anshari sebagai ringkasan dari Jam' aj-Jawami' Tajuddin bin Abdul Wahhab as-Subki. Kelima, kitab kuning berupa kutipan dari berbagai kitab lain, seperti ‘Ulumul Qur’an  karya al-Aufi.

Keenam, kitab kuning yang isinya memperbarui sistematika dari kitab-kitab yang telah ada, seperti Ihya' 'Ulumuddin karya Imam al-Ghazali. Terakhir, kitab kuning yang berisi kritik dan koreksi terhadap kitab-kitab yang telah ada, seperti Mi’yar Al ‘Ilmi yang meluruskan kaidah logika yang telah ada karya Imam al-Ghazali.

Ilmuwan kontemporer Mesir, Dr Jamaluddin Athiyah, yang juga penyusun buku Turats al-Fiqh al-Islam, menyebutkan kitab kuning masih tetap perlu dikaji. Athiyah menyatakan, kitab kuning berfungsi sebagai pengantar bagi pembinaan hukum Islam kontemporer. Kemudian, ujar Athiyah, kitab kuning memberi penjelasan tafsir hukum Islam yang masih digunakan oleh hukum positif.

Di pesantren-pesantren, umumnya kitab kuning diajarkan dengan dua cara, yaitu cara sorogan dan bandongan. Cara sorogan ialah santri satu per satu menghadap kiai dengan membawa kitab tertentu. Kiai membacakan kitab itu beberapa baris dengan makna yang lazim dipakai di pesantren.

Kemudian, santri mengulangi bacaan kiainya. Demikianlah dilakukan oleh para santri secara bergiliran. Biasanya cara sorogan dilakukan oleh santri yang masih tingkat awal dan terbatas pada kitab-kitab yang kecil saja.

Adapun cara bandongan adalah pengajaran kitab kuning secara klasikal, yakni semua santri menghadap kiai bersamaan. Kiai membacakan kitab tertentu dengan makna dan penjelasan secukupnya, sementara para santri mendengar dan mencatat penjelasan kiai di pinggir halaman kitabnya.

Cara belajar seperti ini paling banyak dilakukan. Dengan cara bandongan, kitab-kitab yang besar seperti Sahih al-Bukhari dapat ditamatkan dalam waktu yang relatif singkat. Bahkan, ada yang bisa menamatkan dalam waktu tak lebih dari sebulan.

sumber : Dialog Jumat Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement