Jumat 07 Sep 2018 11:31 WIB

Momentum Syiar Islam di Tahun Baru Hijriah

Banyak peristiwa penting yang terjadi pada hari 1 Muharram.

Rep: Rahmat Fajar/ Red: Agung Sasongko
Pawai Obor. Anak-anak mengikuti pawai obor dalam menyambut Tahun Baru Islam 1 Muharam 1439 H di kawasan Cikini, Jakarta, Rabu (20/09). Tanggal 21 September menjadi awal tahun bagi penanggalan kalender 1439 Hijriah.
Foto: Iman Firmansyah
Pawai Obor. Anak-anak mengikuti pawai obor dalam menyambut Tahun Baru Islam 1 Muharam 1439 H di kawasan Cikini, Jakarta, Rabu (20/09). Tanggal 21 September menjadi awal tahun bagi penanggalan kalender 1439 Hijriah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menyemarakkan Tahun Baru Islam sudah menjadi agenda tahunan umat. Nahdlatul Ulama (NU) sebagai salah organisasi terbesar di Indonesia juga berkontribusi untuk memeriahkan dalam menyambut Tahun Baru Hijriyah hingga pelosok daerah.

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Marsudi Syuhud mengatakan, para kiai NU menganggap Muharram sebagai bulan Hijriyah yang ditandai dengan hijrahnya Rasulullah dari Makkah ke Madinah.

Hal tersebut mempunyai makna bahwa manusia harus berubah dari sesuatu yang tidak baik ke yang baik. Para leluhur, kiai-kiai, Wali Songo memaknai ini biasanya tidak sekadar menunjukkan untuk syiar saja, tapi juga beliau mengajarkan perilaku-perilaku yang bermanfaat untuk dirinya sendiri.

"Misalnya, dengan melakukan puasa-puasa," ujar Kiai Marsudi kepada Republika.co.id, belum lama ini.

Dia menjelaskan, banyak peristiwa penting yang terjadi pada hari Asyura. Contohnya saja, Nabi Adam yang bertobat kepada Allah, selamatnya Nabi Ibrahim dari siksaan Raja Namrud, Nabi Yusuf bebas dari penjara Mesir dan Nabi Musa yang lolos dari kejaran Fir'aun.

Secara spiritual, para kiai mengajarkan agar berpuasa Asyura pada hari ke-10 dan ke-9. Meskipun puasa Asyura budaya Yahudi, kata Kiai Marsudi, Rasulullah pernah melakukannya.

Karena Nabi Musa pernah berpuasa sebagai rasa syukur kepada Allah ketika berhasil lepas dari kejaran Fir'aun. Kendati demikian, Rasulullah mengatakan, puasa Asyura bukan sesuatu yang wajib untuk dikerjakan. Hal tersebut juga dijelaskan dalam sebuah hadis dari Imam Bukhari.

"Artinya, di sini betapa pun budayanya Yahudi kalau masih sesuai dengan kita ternyata Rasulullah juga mengadopsinya. Makanya, kita jangan mentang-mentang itu budaya dari mana kalau ternyata tidak bertentangan ya kita bisa adopsi sebaimana Rasulullah, kata Kiai Marsudi.

Selain berpuasa, Kiai Marsudi mengajak agar memperbanyak sadekah pada hari Asyura. Memperbanyak sedekah akan membuat keluarga menjadi bahagia, tenteram, dan aman. Semangat memberi diharapkan lebih tinggi daripada mengambil.

Memberi, kata Kiai Marsudi, tidak harus berupa uang, tapi bisa berbentuk ide, kesempatan dan pikiran. Ia meyakini dengan semangat tersebut negara akan aman, tenteram, rukun, dan sejahtera.

Bukan semangat mengambil. Kalau itu akhirnya korupsi. Kalau semangatnya memita gak dapat-dapat akhirnya korupsi," kata Kiai Marsudi menegaskan.

Tradisi menyambut Muharram, katanya, kini sudah menjadi budaya di masyarakat.

Tanpa disu ruh mereka akan mengadakan secara mandiri seperti pengajian, zikir, shawalatan, ataupun tahlilan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement