Rabu 14 Mar 2018 13:21 WIB

Nafisah, Pakar Agama yang Cinta Ilmu

Nafisah sejak kecil sudah menghafal Alquran dan pelajari Hadis.

Ilustrasi Dakwah Muslimah. (Republika/ Prayogi)
Foto: Republika/Prayogi
Ilustrasi Dakwah Muslimah. (Republika/ Prayogi)

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Di jagad ilmu agama dan pengetahuan, namanya tersohor. Nafisah mahir menguasai berbagai disiplin ilmu. Tumbuh dan berkembang di Madinah, mencetaknya sebagai pribadi yang matang. Ia berhasil menghafal Alquran saat ia masih kecil. Ia pun belajar tafsir dan hadis hingga ia lihai di kedua bidang itu. 

Ayahnya, Zaid bin al-Hasan, adalah gubernur Madinah ketika Khalifah Abu Ja'far al-Manshur berkuasa. Akibat persaingan politik, Zaid ditangkap dan diasingkan ke Baghdad. Seluruh hartanya disita. Nafisah pun menyertai ayahandanya ke Baghdad. Zaid dinyatakan bebas saat Khalifah al-Mahdi naik takhta. Al Mahdi mengembalikan kekayaan Zaid.

 

Bersama sang suami, tokoh yang bernama lengkap Nafisah binti al-Hasan bin Zaid bin al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib itu pindah ke Madinah. Ia hidup dengan penuh kedamaian.

Di kota itu, ia mulai membuka kelas untuk belajar di rumahnya. Para pelajar berbondong-bondong ke rumahnya untuk mencari ilmu. Ia berbagi banyak sanad hadis. Sering pula memberikan fatwa atas persoalan tertentu. Atas prestasinya itu, ia mendapat gelar Gudang Ilmu Pengetahuan.

Pada 193 H, ia pindah ke Mesir ditemani oleh suami dan ayah tercinta. Penduduk Mesir menyambutnya dengan antusias. Kegemberiaan tampak terpencar di raut wajah mereka. Ia tinggal di kediaman salah satu tokoh Mesir Ibn al-Jashsash yang terletak di Fustat. 

Di Negeri Piramada itu, ia mendapatkan penghargaan yang luar biasa. Warga Mesir berduyun-duyun belajar kepadanya. Sejumlah ulama senior pun turut menggali ilmu darinya secara langsung, di antaranya, Imam Syafii.

Ia sering menghadap ke ibu dari Qasim dan Ummu Kultsum tersebut. Pertemuan antarkeduanya berlangsung secara terpisah di belakang pembatas ruangan. Diskusi mengalir tentang soal apa pun, mulai dari fikih, hadis, dan ibadah. 

Intensitas dan frekuensi pertemuan itu menumbuhkan hubungan emosional yang kuat antara guru dan murid. Ketika Imam Syafii sakit parah, ia meminta Nafisah mendoakannya agar cepat sembuh. Selang beberapa hari, peletak Mazhab Syafii itu wafat. Ia berwasiat supaya Nafisah berkenan menshalati jenazahnya. Ia memenuhi wasiat itu. Kepergian Syafii menjadi pukulan berat baginya

sumber : Dialog Jumat Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement