Ahad 30 Dec 2018 14:16 WIB

Menag Minta Penyair Gugah Kesadaran Masyarakat

Penyair diminta lebih memahami realitas zaman.

Rep: Muhyiddin/ Red: Nashih Nashrullah
Menteri Agama RI,  Lukman Hakim Saifuddin saat wawancara  bersama Republika di Jakarta, Sabtu (22/12).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Menteri Agama RI, Lukman Hakim Saifuddin saat wawancara bersama Republika di Jakarta, Sabtu (22/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin meminta para penyair berpuisi dengan kata-kata yang dapat menggugah kesadaran dan menjaga kewarasan. Karena, menurut dia, berpuisi adalah wujud amalan terpuji yang bisa menyucikan hati dan mencegah bangsa digital agar tak binal. 

"Itu artinya, penyair dituntut untuk lebih peduli di masa kini. Peduli berarti harus siap memahami realitas zaman. Penyair semakin dituntut untuk mengasah indranya kian peka menyikapi fakta melalui ungkapan kata," ucap Lukman. 

Pernyataan tersebut disampaikan Lukman dalam Peringatan puncak Hari Puisi telah digelar Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Sabtu (29/12) malam. Dalam acara tersebut, Menteri Agama Lukman Hakim mengucapkan selamat dan mengapresiasi tema Hari Puisi Indonesia tahun ini, yaitu: "Puisi Sebagai Renjana dan Sikap Budaya". 

Menurut Lukman, tema tersebut mencerminkan semangat penyair bangsa untuk lebih kreatif dan inovatif, sehingga kerja-kerja puisi tidak terhenti di atas kertas rencana. 

"Bersyair di era kekinian bukanlah bergumam dalam kesendirian di tengah keriuhan dan kebisingan tanpa jeda sosial media. Bukan pula sumpah serapah akibat pikiran dan jempol tangan makin terdisrupsi teknologi," ujar Lukman dalam keterangannya persnya kepada Republika.co.id, Ahad (30/12). 

Sebagai karya sastra, menurut Lukman, puisi ibarat oase yang menyegarkan, yang mengantarkan pada kesepahaman setelah setiap mulut sudah lelah beradu kata dari kanal-kanal berbeda di dunia maya. Sebagai produk budaya, lanjut dia, puisi adalah ungkapan jiwa yang mampu membebaskan diri dari belenggu kepengapan wacana. 

Sedangkan sebagai olahan bahasa, kata dia, puisi merupakan belanga yang menjodohkan garam di laut dan asam di gunung menjadi pelezat rasa. 

"Puisi menjadi pemanis di kala kata-kata biasa hambar terasa. Puisi bukan sekumpulan kalimat hambar yang disusun dari janji-janji manis belaka. Puisi adalah seni olah kata yang menyatukan kita dalam rasa," katanya. 

Karena itu, Lukman berharap penyair Indonesia ikut menyastrakan keragaman sebagai berkah dan anugerah Tuhan, bukan penyebab datangnya bencana. Menurut dia, puisi juga perlu ikut mendakwahkan bahwa nilai agama menjadi nafas anak bangsa Indonesia.  

Lukman mengatakan, leluhur bangsa juga sudah mencontohkan dengan menjadikan nilai-nilai agama sebagai perajut keragaman dan kemajemukan. 

"Mari syukuri ini dengan tetap dan terus menjaga budaya berkata-kata, berbahasa, dan bersastra, dengan ruh agama," jelas Lukman. 

"Lewat kata-kata, mari sama-sama saling mengaktualisasikan agama dalam wadah budaya untuk kemanusiaan kita," imbuhnya.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement