Senin 16 Jul 2018 17:27 WIB

Berpikir Kritis atau Berpikir Kreatif? Pilih Mana?

Berpikir kreatif adalah seni menghubungkan informasi menjadi gagasan baru.

Purwa Udiutomo, General Manajer Beastudi Indonesia Dompet Dhuafa Pendidikan
Foto: Dok Dompet Dhuafa
Purwa Udiutomo, General Manajer Beastudi Indonesia Dompet Dhuafa Pendidikan

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Purwa Udiutomo, General Manajer Beastudi Indonesia Dompet Dhuafa Pendidikan

Thinking is the hardest work there is, which is probably the reason so few engage in it (Henry Ford)

 

 

Berpikir dalam KBBI didefinisikan sebagai menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu, atau menimbang-nimbang dalam ingatan. Berpikir banyak macamnya, di antaranya memiliki makna yang saling bertolak belakang. Misalnya antara berpikir subjektif (menurut pandangan/ perasaan sendiri) dengan berpikir objektif (menurut keadaan yang sebenarnya tanpa dipengaruhi pendapat atau pandangan pribadi).

Atau berpikir deduktif (menyimpulkan dari yang umum ke yang khusus) dengan berpikir induktif (menyimpulkan berdasarkan keadaan yang khusus untuk diperlakukan secara umum). Berpikir realistik dengan berpikir autestik. Berpikir rasional dengan berpikir irrasional. Berpikir logis dengan berpikir emosional. Berpikir ilmiah dengan berpikir alamiah. Berpikir sistematis dengan berpikir acak. Berpikir analisis dengan berpikir sintesis.

Lantas bagaimana dengan berpikir kritis? Apa yang menjadi lawannya?

Berpikir kritis adalah seni menganalisis gagasan berdasarkan penalaran logis. Ada proses analisis dan evaluasi yang menyertainya. Sikap tidak kritis bisa jadi muncul karena apatis, skeptis, atau karena taklid buta. Hanya saja berpikir apatis, skeptis, apalagi taklid buta seringkali tidak butuh benar-benar berpikir. Tidak perlu banyak pertimbangan, apalagi mengedepankan akal budi. Karenanya berpikir kritis jarang ‘dibenturkan’ dengan ketiga hal ini. Dalam berbagai literatur, ‘lawan’ dari berpikir kritis adalah berpikir kreatif. Hal ini didasarkan pada karakteristiknya yang saling berseberangan.

Berpikir kritis dicirikan sebagai berpikir analisis, konvergen, vertical, fokus, dan objektif dengan mengoptimalkan otak kiri. Sementara berpikir kreatif memiliki karakteristik generatif, divergen, lateral, menyebar, dan subjektif dengan mengoptimalkan otak kanan. Lalu mana yang lebih baik? Berpikir kritis atau berpikir kreatif?

Berpikir kreatif adalah seni menghubungkan informasi menjadi gagasan baru. Gagasan spektakuler adalah buah dari berpikir kreatif. Bagi yang menggunakan referensi taksonomi Bloom, berpikir kreatif ini ada di level yang lebih tinggi dari berpikir kritis. Dimensi proses kognitif secara berurut dimulai dari remembering (mengingat), understanding (memahami), applying (mengaplikasikan), analyzing (menganalisis), evaluating (mengevaluasi), hingga creating (membuat/ menciptakan). Berpikir kritis ada di level menganalisis dan mengevaluasi, sementara berpikir kreatif ada di level membuat dan menciptakan. Lalu apakah artinya untuk dapat berpikir kreatif, seseorang harus mampu berpikir kritis terlebih dahulu? Mungkinkah berpikir kritis dan berpikir kreatif dapat dilakukan secara simultan?

Berpikir adalah suatu kegiatan mental yang melibatkan kerja otak. Sebagaimana setiap manusia pasti memiliki belahan otak sebelah kiri maupun kanan, antara berpikir kritis dengan berpikir kreatif seharusnya tidak perlu didikotomikan. Keduanya ada di dimensi yang berbeda. Justru harus digunakan secara simultan. Misalnya dalam menulis sebuah buku, berpikir kreatif akan menghasilkan ide tulisan.

Namun ide-ide tersebut harus ditata dalam sebuah outline atau gunung alur dengan berpikir kritis. Pemilihan diksi atau gaya bahasa lahir dari berpikir kreatif. Judul buku atau bab yang menarik pun hadir karena proses berpikir kreatif. Hanya saja buku yang rapi dengan proses editing yang baik membutuhkan sentuhan berpikir kritis. Review buku perlu berpikir kritis, sementara membuat buku baru perlu diawali dengan berpikir kreatif. Semakin tampak jelas perbedaannya kan? Atau justru kian tampak ‘simbiosis mutualisme’ antara keduanya?

Berpikir kritis dan kreatif adalah dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Menghasilkan gagasan program inovatif butuh berpikir kreatif, namun merencanakannya secara detail termasuk menguji kelayakan gagasan tersebut perlu proses berpikir kritis. Kelincahan dalam mengelola dinamika organisasi butuh berpikir kreatif, sementara melakukan improvement (perbaikan) perlu berpikir kritis. Untuk menghasilkan gagasan ideal yang dapat diimplementasikan dan terus dikembangkan, berpikir kritis dan kreatif keduanya perlu untuk dilakukan secara simultan.

Dan simultan disini sangatlah realistis, bukan utopis. Misalnya, bagaimana judul dan setiap paragraf dalam tulisan ini diawali dengan kata ‘berpikir’ dan diakhiri dengan dua pertanyaan membutuhkan proses berpikir kritis sekaligus kreatif. Menarik bukan? Jadi, pilih mana, berpikir kritis atau berpikir kreatif?

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Robb kami, tiadalah Engkau ciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka dipeliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imron: 190-191)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement