Senin 16 Apr 2018 16:46 WIB

PP Jaminan Produk Halal Belum Terbit, Ini Kata Kiai Maruf

Pemerintah didesak segera menerbitkan PP Jaminan Produk Halal

Rep: Novita Intan/ Red: Agung Sasongko
etua Umum MUI KH Maruf Amin
Foto: Republika/ Wihdan
etua Umum MUI KH Maruf Amin

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Memasuki 4 tahun UU No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal belum dirasakan kehadirannya bagi masyarakat. UU ini juga belum memiliki pengaruh yang signifikan terhadap dunia usaha dan percepatan industri halal di Tanah Air.

Tak hanya itu Peraturan Pemerintah (PP) Jaminan Produk Halal sebagai peraturan pelaksana undang-undang yang tidak kunjung terbit. Alhasil menjadikan tidak berfungsinya Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).

Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kiai Maaruf Amin menduga belum diterbitkannya PP Jaminan Produk Halal lantaran banyak pihak yang belum terpenuhi keinginannya.

"Sekarang ini UU sudah ada tapi belum dipakai karena PP nya belum terbit. Ada kepentingan yang belum terpenuhi, ujarnya saat acara Seminar Nasional Produk Halal di Hotel Gren Alia Cikini, Jakarta, Senin (16/4).

Kendati demikian, menurutnya, pengawasan sertifikasi halal tetap dilakukan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM MUI). Langkah ini dilakukan melindungi konsumen sekaligus memberikan skema kemudahan bagi dunia usaha.

"Sertifikasi halal tidak berhenti karena sudah menjadi kebutuhan umat dan perlindungan konsumen. Karena mengonsumsi halal itu wajib, bagian dari tuntunan agama, ucapnya.

Pengawasan ada di MUI, karena halal itu hukum. Kemandekan itu tidak ada, sertifikasi jalan sambil menunggu BPJH dari pemerintah. Sekarang lebih kuat karena bekerjasama, ungkapnya.

Untuk itu, ia mendesak pemerintah segera menerbitkan PP Jaminan Produk Halal agar tidak menimbulkan keragunan bagi dunia usaha dan industri. Sehingga Wajib Sertifikasi Halal (mandatory) yang berlaku 2019 mendatang bisa dilakukan secara matang.

Kalau tidak jelas abu-abu itu haram, banci itu. Halal itu jelas ditandai dengan sertifikasi. Abu-abu ada yang tidak jelas, sama hukumnya dengan haram, ungkapnya.

Ia juga menekankan, segala produk hanya bisa ditetapkan proses kehalalnya oleh LPPOM MUI termasuk apabila produk tersebut dalam keadaan darurat. Hal ini mengingat masih banyak produk obat yang belum tersertifikasi halal.

Ada hal yang sulit diperoleh tidak ada jalan lain maka dinamakan darurat contoh obat. Tapi yang mengatakan MUI bukan produsen sendiri. Contoh saat calon jamaah haji terkena penyakit Megnitis, ada obat dari Belgia hanya ada bisa sembuh vaksin maka MUI bisa mengatakan darurat dipakai, ucapnya.

Jalan keluar ada sampai ketemu obat yang halal, yang mengatakan MUI. Di agama tidak ada yang susah, yang susah kalau tidak mau melaksanakannya. Jadi industri farmasi tidak usah khawatir, ungkapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement