REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ed Stover dan Eric W Mercure dalam artikelnya, “The Pomegranate: A New Look at the Fruit of Paradise” mengungkapkan, delima merupakan buah yang populer bagi masyarakat pesisir Laut Tengah dan Asia Barat sejak dahulu kala. Sebagai contoh, Mazmur untuk Demeter—teks epos 495 bait dari Yunani Kuno—telah menyinggung signifikansi delima berkaitan dengan mitologi penculikan Proserpina. Dewi tersebut merupakan putri pasangan Zeus dan Demeter yang hidup di tengah hutan.
Ketika sedang memetik bunga bersama Artemis dan Athena, Hades sang dewa bawah tanah menculiknya. Menyadari anaknya hilang, Demeter cemas sekaligus marah. Dewi pertanian itu bersumpah untuk menahan tumbuhnya seluruh tanaman di bumi sebelum putri kesayangannya itu kembali.
Manusia pun diceritakan di sana terancam wabah kelaparan. Dewa matahari, Helios, lalu menceritakan kejadian yang sebenarnya kepada Demeter. Untuk mengatasi persoalan ini, Zeus turun tangan dengan memaksa semua orang agar menangis. Air mata mereka meresap ke bawah tanah sehingga mengganggu Hedes di sana.
Salah satu putra Zeus, Hermes, lantas diutus untuk menemui Hedes yang akhirnya bersedia melepas Proserpina. Namun, sang dewi terpaksa menjalani hukuman karena sempat mengonsumsi makanan yang diberi Hedes. Makanan itu adalah biji-bijian delima.
Setiap tahun, Proserpina harus tinggal di dunia bawah tanah tempat tinggal penculiknya selama empat bulan. Pada bulan-bulan selainnya, dia diperbolehkan hidup di muka bumi.
Menurut mitologi setempat, inilah yang menyebabkan adanya musim dingin. Demikian pula, patung-patung Yunani Kuno kerap menampilkan Proserpina sedang menggenggam delima. Setidaknya hingga zaman Romawi Kuno, buah tersebut dianggap melambangkan femininitas.
Bagi kaum Yahudi, delima menjadi simbol kebajikan. Tradisi setempat menyatakan bahwa buah tersebut selalu mengandung 613 bulir, jumlah yang sama dengan 613 perintah (mitzvot) Tuhan dalam Taurat. Buah ini juga tidak pernah absen dalam perayaan umat Yahudi, semisal tahun baru atau Rosh Hashanah. Sementara dalam tradisi Kristen, delima merepresentasikan “kebangkitan” Yesus—karena dikait-kaitkan dengan legenda dewi Proserphonus dari Romawi Kuno.
Adapun bangsa Arab terpesona dengan khasiat dan rupa buah delima. Para penyair zaman jahiliyah menggunakan delima sebagai metafora keindahan fisik perempuan. Buah ini juga selalu hadir dalam setiap perayaan masyarakat setempat, semisal pernikahan atau unjuk kesenian.
Seperti halnya kurma, delima juga digemari sebagai konsumsi publik. Sari buah ini terasa manis. Dagingnya merupakan bulir-bulir berwarna merah—yang disebut arils—menyerupai permata ruby. Sampai hari ini, delima cukup mudah diperoleh di pasar-pasar seantero Arab Saudi. Bila pembaca menunaikan haji atau umrah, atau sekadar jalan-jalan ke sana, jangan sampai lupa mencicipi buah yang disebutkan dalam Alquran ini.