Kamis 14 Mar 2019 23:57 WIB

Pentingnya Pendidikan di Mata Raja Terkaya dari Afrika

Raja terkaya itu sengaja mendatangkan cendekiawan dari Makkah.

Rep: Andrian Saputra / Red: Nashih Nashrullah
Masjid Djinguereber di Timbuktu
Masjid Djinguereber di Timbuktu

REPUBLIKA.CO.ID, Tak ada keraguan bahwa penguasa Mali (Afrika Barat kini) Abad Pertengahan, Mansa Musa menghabiskan banyak emas selama perjalanannya ke Makkah dan singgah di Kairo, Mesir. Namun kemurahan hati yang berlebihan itulah yang juga menarik perhatian dunia.

Mansa Musa telah menempatkan Mali dan dirinya dalam peta dunia secara harfiah.  

Baca Juga

Dalam peta Catalan Atlas dari 1375, sebuah gambar seorang raja Afrika duduk di atas takhta emas di atas Timbuktu dan memegang sepotong emas di tangannya.

Timbuktu menjadi El Dorado di Afrika, dan orang-orang datang ketempat itu untuk sekilas melihat-lihat.  

Pada abad ke-19 kota ini masih dipertanyakan. Bahkan dianggap mitos dan diberi status kota emas yang hilang diujung dunia.  

Sebuah mercusuar bagi pemburu dan penjelajah kekayaan Eropa, dan ini sebagian besar disebabkan oleh eksploitasi Mansa Musa 500 tahun sebelumnya.

Mansa Musa kembali dari Makkah dengan beberapa cendekiawan Islam, termasuk keturunan langsung Nabi Muhammad dan seorang penyair dan arsitek Andalusia bernama Abu Es Haq es Saheli. Yang kemudian merancang Masjid Djinguereber yang terkenal.

Mansa Musa disebutkan membayar penyair itu dengan 200 kg emas, dalam mata uang saat ini senilai 8,2 juta dolar AS.

Selain mendorong seni dan arsitektur, ia juga mendanai pendidikan sastra dan membangun sekolah, perpustakaan, hingga masjid. 

Timbuktu pun menjadi pusat pendidikan dan orang-orang  dari seluruh dunia datang untuk belajar ke tempat yang saat ini menjadi Universitas Sankore.

Sang Raja yang kaya sering dinilai menjadi motor penggerak tradisi pendidikan di Afrika Barat, meskipun kisah tetang kekaisarannya sebagian besar masih sedikit diketahui di luar Afrika Barat.

Setelah Mansa Musa wafat pada 1337 di  usia 57, kekaisaran diwarisi putra-putranya yang tidak dapat menyatukan kekaisaran. 

Negara bagian yang lebih kecil terputus dan kekaisaran pun runtuh. Kedatangan bangsa Eropa selanjutnya di wilayah itu merupakan paku terakhir di peti mati kekaisaran.

"Sejarah periode abad pertengahan sebagian besar masih dilihat hanya sebagai sejarah Barat," kata Direktur Block Museum of Art, Lisa Corrin Graziose.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement