Senin 18 Feb 2019 16:28 WIB

Syekh Yusuf al-Makassari, Dakwah di Nusantara dan Afsel (6)

Banyak ulama lainnya asal Nusantara yang berkiprah besar di Afsel

(ilustrasi) peta Afrika Selatan
Foto: tangkapan layar google map
(ilustrasi) peta Afrika Selatan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Demikianlah kisah heroik Syekh Yusuf al-Makassari. Perjuangannya terus dikenang dua bangsa sekaligus, Indonesia dan Afrika Selatan.

Baca juga: Syekh Yusuf al-Makassari, Dakwah di Nusantara dan Afsel (5)

Baca Juga

Taufiq Ismail dalam catatan perjalanannya yang terangkum di Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 3 menyebut, Presiden Afsel (1994-1999) Nelson Mandela pernah memuji syekh asal Sulawesi Selatan itu sebagai “putra Afrika, pejuang teladan kami.”

Pada era Wapres Jusuf Kalla (2004-2009), menurut catatan Hamid Awaludin (2009), pemerintah Afsel menganugerahkan gelar kehormatan yakni pahlawan kepada sosok Syekh Yusuf al-Makassari.

 

Bukan yang Terakhir

Untuk diketahui, Syekh Yusuf al-Makassari bukanlah ulama yang terakhir asal Nusantara yang mendakwahkan Islam di selatan Benua Afrika.

Pada 1697, mendaratlah Raja Tambora dari Nusa Tenggara Barat (NTB) di Afsel. Awalnya, pasukan Belanda di sana mengurung raja yang juga hafizh Alquran itu di dalam sebuah kandang kuda, yang termasuk benteng Kompeni.

Begitu mengetahui kabar itu, Syekh Yusuf al-Makassari segera memprotesnya, sehingga menantunya itu dipindahkan ke Verglegen, Stellenbosch, Cape Town. Taufiq Ismail mengungkapkan, Raja Tambora di dalam tahanan menulis Alquran berdasarkan memori.

Itulah mushaf Alquran pertama di Afrika Selatan. Sosok yang juga suami Sitina Sara Marouf—putri kandung Syekh Yusuf—lantas menghadiahkan mushaf mulia tadi untuk gubernur kolonial, van der Stel.

Berikutnya, pada 1744, dua orang ulama asal Nusantara tiba di Pulau Robben, Afsel. Mereka adalah Haji Matarim dan Tuan Said Aloewi.

Yang pertama itu wafat dalam masa tahanan, sedangkan yang kedua bebas usai 11 tahun dipenjara. Kepada penduduk setempat, utamanya para budak, Tuan Said mendakwahkan Islam secara sembunyi-sembunyi.

Pada 1780, Raja Tidore Imam Abdullah bin Qadi Abdussalam, usia 68 tahun, dibuang ke Cape Town. Selama 13 tahun tokoh sepuh itu ditahan di Pulau Robben.

Sama halnya dengan Raja Tambora, dia juga hafizh Alquran sehingga mampu menulis teks Kitabullah itu "hanya" dengan mengandalkan ingatan.

Mushaf tersebut lantas disalin ulang olehnya berkali-kali. Jadilah sejumlah Alquran tulisan tangan disebarkan kepada para penduduk setempat. Begitu bebas dari penjara, namanya lebih dikenal sebagai Tuan Guru. Dia mendirikan masjid dan madrasah pertama di Afsel.

 

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement