Ahad 02 Jul 2017 19:58 WIB

Bicara Waktu

Rep: A Syalabi Ichsan/ Red: Agung Sasongko
ilustrasi merenungi waktu dan dosa
Foto: jart-gallery.blogspot.com
ilustrasi merenungi waktu dan dosa

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Waktu memiliki kedudukan berharga di mata manusia. Sejak zaman glasial terakhir, manusia sudah berupaya untuk meng hitung waktu dengan kalender. Para pemburu ketika itu menggunakan tongkat dan tulang untuk menandakan fase bulan atau musim. Upaya manusia mengenal wak tu juga terjadi pada 1.500 SM. Ketika itu, bangsa Mesir kuno membangun jam bayangan.

Inilah alat pertama yang digunakan pertama kali untuk mengukur hari. Obelisk milik moyang bangsa Mesir yang dibangun pada 3500 SM pun berjenis jam bayangan. Jam bayangan membagi waktu siang hing ga 12 sesi. Setiap bagian terbagi kem bali menjadi bagian-bagian khusus.

Satu bagian jam bayangan terdiri dari sebuah tongkat panjang dengan lima variabel penanda dan palang yang ditinggikan. Ini akan menghasilkan bayangan yang melalui tanda-tanda tersebut. Posisinya akan ber ada di sebelah timur pada pagi hari dan berubah ke barat pada senja. Bayangan yang dihasil kan memungkinkan warga Mesir untuk menghitung waktu.

Berbagai bangsa dari peradaban yang berbeda pun melahirkan cara mengukur waktu beragam. Bangsa Persia memilih air sebagai media pengukur waktu. Mereka meng gunakan jam air untuk memastikan distribusi air pada jaringan irigasi. Begitu pula bangsa Cina yang menggunakan lilin sebagai penanda waktu.

Pada zaman ini, penghitungan waktu menggunakan standar universal yang biasa disebut dengan Universal Time. Sebuah stan dar waktu yang menjadi penerus Green wich Mean Time (GMT). Dalam UT, waktu dibagi menjadi berbagai macam zona yang melingkupi 15 derajat. Contoh sederhana nya, Indonesia memiliki tiga zona waktu, yakni barat, tengah, dan timur. Dari satu zona ke zona lain berbeda satu jam.

Berharga

Waktu memang berharga. Ada yang me nyamakan dengan uang ada pula yang me nyamakannya dengan pedang. Sedemikian berharganya, Allah SWT pun bersumpah demi waktu (Ashr) dalam QS al-Ashr. Qu raish Shihab menjelaskan, Kata Al 'Ashr di ambil dari kata 'Ashara yang berarti me nekan sesuatu sehingga apa yang terdapat pada bagian terdalam daripadanya tampak ke permukaan atau keluar (memeras). Angin yang tekanannya keras sehingga memorakporandakan segala sesuatu dinamakan i'shar. Menurut Quraish, penamaan ini agaknya disebabkan ketika itu manusia yang sejak pagi telah memeras tenaganya diharapkan telah mendapatkan hasil dari usaha-usahanya.

Mengutip Syekh Muhammad Abduh, Quraish menjelaskan, turunnya ayat ini tidak lepas dari kebiasaan orang-orang Arab pada masa turunnya Alquran untuk berkumpul dan berbincang-bincang mengenai berbagai hal. Tidak jarang, dalam perbincangan tersebut terlontar kata-kata mengumpat sekaligus memuji waktu. Waktu baik jika mereka berhasil dan waktu sial jika mereka gagal. Padahal, waktu merupakan sesuatu yang netral. Tidak perlu disematkan kemujaraban atau kesialan di balik sebuah tanggal atau jam.

Tafsir lainnya, Quraish menulis bahwa pada surah ini, Allah SWT bersumpah demi waktu dengan menggunakan kata Ashr untuk membuat suatu pernyataan. Demi waktu, di mana manusia mencapai hasil setelah ia memeras tenaganya, sesungguhnya ia merugi apa pun hasil yang dicapainya itu, kecuali jika ia beriman dan beramal saleh. Kerugian tersebut mungkin tidak akan dirasakan pada waktu dini, tetapi pasti akan disadarinya pada waktu Ashar kehidupannya menjelang matahari hayatnya terbenam. "Itulah agaknya rahasia mengapa Tuhan memilih kata Ashr untuk menunjuk kepada waktu secara umum," kata Quraish dalam tafsir Al Mishbah.

Waktu adalah modal utama manusia. Jika tidak diisi dengan kegiatan positif dan produktif, dia akan berlalu begitu saja. Dia hanya datang satu kali tidak dapat diulang. Tidak juga bisa dimajukan. Apabila datang saatnya, manusia tidak bisa menghindar. "Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu maka apabila telah datang waktunya me reka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat memajukannya." (QS al-Araf:34).

Waktu juga membuat kita tidak akan pernah bisa merasakan Ramadhan 1438 Hijriyah untuk yang kedua kali. Dia hanya datang pada tahun itu, pada bulan itu, pada hari-hari itu. Tidak akan bisa kita kembali beriktikaf identik dengan iktikaf yang kita lakukan pada Ramadhan 1438 Hijriyah. Dengan sujud yang sama, linangan air mata yang sama, atau doa qunut yang sama. Sesal kita tinggallah sesal saat ibadah pada Ramadhan lalu tidak juga maksimal.

Betapa banyak kita melakukan dosa dan khilaf dalam kondisi berpuasa. Benci, nafsu, amarah tetap terletup di jalan-jalan Ibu Kota yang macet. Gibah yang masih juga kita gumamkan di sepanjang siang. Bawah an menggunjing atasan dan atasan meng umpat bawahan. Sekali lagi, dalam kondisi berpuasa. Sayangnya, waktu itu tidak akan bisa berulang. Tidak akan bisa diperbaiki. Dia telah berlalu sekali itu saja. Terlebih manakala kita belum sempat bertaubat bermohon ampun kehadirat-Nya.

Maka, kembali lagi kita harus membaca firman Allah SWT yang bersumpah demi masa jikalau sungguh manusia dalam kerugian. Di dalam QS az-Zumar: 15, Allah SWT mengatakan, kerugian yang sebenarnya. "Katakanlah, 'Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang merugi kan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari kiamat'. Ingatlah yang demikian itu adalah kerugian yang nyata."

Ditukil dari sebuah tulisan menyegarkan dari Syekh Abdul Bari ast-Tsubaiti berjudul "Kerugian Hakiki", maksud dari ayat itu adalah kerugian yang menyebabkan penyesalan kekal. Kerugian itu ditimbulkan ke tika manusia ditimbang dengan timbangan seadil-adilnya. Saat amal buruk manusia lebih berat ketimbang amal buruknya.

Mau tidak mau, sudah saatnya kita meng hentikan kebiasaan buruk dengan hanya menyesal. Kalimat Ebiet G Ade da lam sebuah lagu harus menjadi sarana introspeksi. "Mumpung kita masih diberi waktu." Allah SWT masih memberi kita umur. Dapat merasakan napas dari oksigen pemberian-Nya. Masih diberikan rezeki berupa pekerjaan, istri, dan anak. Masih diberi kesehatan untuk shalat. Mumpung masih ada waktu, kita masih bisa bertaubat dan memohon ampun atas kealpaan sepanjang Ramadhan lalu. Mumpung ada wak tu, kita bisa berencana untuk mempersembahkan amal-amal terbaik pada syawal ini. Hingga kita disampaikan kepada Rama dhan 1439 Hijriyah kelak.

Tidakkah Allah SWT memberi pengecualian terhadap orang-orang beriman dan beramal saleh. Mereka tidak mengalami ke rugian karena waktu. Dua kata sejoli yang menjadi hubungan sebab akibat. Seorang beriman dengan benar harus diejawantah kan dengan amal yang saleh. Apalah man faat iman tanpa amal. Mereka itu meng isi waktu-waktunya hanya dengan amal saleh. Bukan maksiat. Dua jenis orang lainnya juga menjadi manusia-manusia yang dikecualikan dari kerugian. Mereka adalah orang yang saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati dalam kesa bar an. Bukan hanya bagi para dai dan mu baligh, kita pun bisa menjadi bagian kecil dari itu. Semampu kita. Wallahualam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement