Selasa 19 Feb 2019 06:00 WIB

KH Mas Mansur, Tokoh Muhammadiyah yang Pejuang Bangsa (3)

Dia ikut mendirikan antara lain Majelis Taswir al-Afkar dan Nahdlatul Wathan

(ilustrasi) gambar KH Mas Mansur
Foto: tangkapan layar google images
(ilustrasi) gambar KH Mas Mansur

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di Indonesia pada awal abad ke-20 sedang gencar perkembangan Sarekat Islam (SI). KH Mas Mansur pun aktif di organisasi tersebut sepulangnya dari Tanah Suci.

SI kala itu sedang dipimpin HOS Tjokroaminoto, tokoh yang begitu disegani di Surabaya. Menurut susunan organisasi, KH Mas Mansur duduk sebagai penasihat Pengurus Besar Sarekat Islam. Memang, dia tidak membatasi aktivitas dakwah dan organisasinya pada SI semata.

Baca Juga

Bersama dengan KH Abdul Wahab Hasbullah, KH Mas Mansur ikut mendirikan Majelis Taswir al-Afkar. Ini untuk menggerakkan dakwah pencerahan untuk masyarakat Surabaya, khususnya generasi muda. Tujuannya supaya mereka terhindar dari kejumudan berpikir.

Ulama-ulama dan para muridnya di dalam Taswir al-Afkar ini mengadakan pengajian di masjid-masjid secara rutin. Di dalamnya, mereka tidak hanya membahas persoalan keagamaan Islam, melainkan juga sosial dan politik pada umumnya dalam menghadapi penjajahan.

KH Abdul Wahab Hasbullah dan KH Mas Mansur turut berjasa dalam menyebarkan kesadaran cinta pada Tanah Air. Inilah benih awal nasionalisme di Indonesia. Selain Taswir al-Afkar, dua tokoh tersebut juga mengilhami berdirinya Nahdlatul Wathan yang berfokus pada soal pendidikan.

Selanjutnya, terbentuklah tiga madrasah penting, yakni Khitab al-Wathan, Ahl al-Wathan, Far’u al-Wathan, dan Hidayah al-Wathan. Masing-masing berdiri di Wonokromo, Gresik, dan Jombang.

 

Keluar dari Taswir

Belakangan, perbedaan pendapat antara dirinya dan KH Abdul Wahab Hasbullah. Hal itu menyebabkan KH Mas Mansur mengundurkan diri dari Taswir al-Afkar.

Pada masa ini, KH Mas Mansur juga bergiat di dunia jurnalistik. Dia pernah menjadi redaktur majalah Kawan Kita di Surabaya. Selain itu, dia sempat pula mendirikan sedikitnya dua majalah, yaitu Suara Santri dan Jinem. Semua itu untuk membuka wadah literasi bagi masyarakat setempat.

Melalui keduanya pula, KH Mas Mansur mengajak masyarakat untuk meninggalkan sikap jumud dalam beragama. Suara Santri terbilang sukses menjadi wahana literasi masyarakat Surabaya, sedangkan Jinem yang terbit dua kali sebulan dapat menjangkau banyak kalangan.

Dalam majalah ini, redaksi menggunakan bahasa Jawa dengan aksara Arab (Jawi). KH Mas Mansur juga menuangkan pemikirannya ke pelbagai media massa lain di Surabaya.

Misalnya, Siaran dan Kentungan di Surabaya; Penganjur dan Islam Bergerak di Yogyakarta; Panji Islam dan Pedoman di Medan; serta Adil di Solo. Selain artikel-artikel majalah, KH Mas Mansur juga menulis sejumlah buku, seperti Hadits Nabawiyah, Syarat Sahnya Menikah, Risalah Tauhid dan Syirik, serta Adab al-Bahts wa al-Munadharah.

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement