Selasa 12 Feb 2019 13:22 WIB

KH Noer Ali, Sang Singa Karawang-Bekasi

Sosok ulama-pejuang ini berkiprah di zaman revolusi hingga Orde Baru

KH Noer Ali
Foto: tangkapan layar google
Logo Kota Bekasi

Setelah berbagai perjuangan, Republik Indonesia akhirnya merdeka pada 17 Agustus 1945. Selang satu bulan kemudian, terjadi insiden di Lapangan Ikada (kini Silang Monumen Nasional, Jakarta). Lautan massa memenuhi lokasi tersebut untuk menunjukkan dukungan penuh kepada para pemimpin negeri. Di antara massa itu, terdapat sosok KH Noer Ali. Dia memimpin barisan dari Bekasi untuk turut serta dalam pertemuan akbar itu.

Di zaman pendudukan Jepang, Kiai Noer Ali menjadi ketua Laskar Rakyat Bekasi serta komandan Hizbullah Bataliyon III Bekasi. Kini dalam masa revolusi, dia juga turun ke lapangan untuk memperjuangkan tegaknya RI. Di antara sahabat-sahabatnya adalah panglima besar Jenderal Sudirman dan Bung Tomo.

Sebelum pecah Pertempuran 10 November di Surabaya, Bung Tomo berulang kali menyebut nama Noer Ali dengan sebutan “kiai haji”. Untuk diketahui, seorang ulama Betawi umumnya diberi gelar “Guru”. Sejak saat itu, sosok Noer Ali pun lebih sering disapa “Kiai Haji” (KH), alih-alih Guru Noer Ali, sehingga mengikuti adat yang berlaku di Jawa.

Pada 29 November 1945, tentara Sekutu memasuki daerah Bekasi-Karawang. KH Noer Ali memerintahkan para pengikutnya untuk mundur teratur. Ada pula beberapa di antara mereka yang masih bertahan di Sasak Kapuk, tetapi kemudian gugur sebagai syuhada.

Posisi Belanda (NICA) semakin kuat berkat dukungan Sekutu. Pada Juli 1947, agresi militer Belanda memukul mundur kekuatan militer RI di Jawa Barat. KH Noer Ali lantas menghadap otoritas tentara waktu itu, Jenderal Urip Sumoharjo (sumber lain menyebut: Jenderal Sudirman) di Yogyakarta untuk meminta saran.

Masukan itu berbunyi, kiai tersebut diminta tetap meneruskan gerilya di Jawa Barat, walau tidak memakai embel-embel tentara nasional. Dengan strategi ini, harapannya Belanda akan terkecoh karena mengira pejuang Indonesia yang dipimpin KH Noer Ali hanyalah rakyat biasa. Ini memperbesar peluang kemenangan RI.

Sesampainya di Karawang, KH Noer Ali membentuk sekaligus mengomandoi Markas Pusat Hizbullah-Sabilillah untuk Jakarta Raya. Pada masa inilah muncul berbagai kisah tentangnya yang legendaris. Misalnya, dikisahkan bahwa pasukan Belanda amat kesulitan untuk menangkapnya. Karena itu, Kiai Noer Ali diberi julukan kedua, “Belut Karawang-Bekasi.”

Pada 1949, Belanda akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia. Laskar-laskar rakyat pun mulai membubarkan diri. Sejak saat itu, KH Noer Ali lebih fokus pada dunia pendidikan.

Di Pekojan, Jakarta, dia membentuk lembaga sekolah yang bekerja sama dengan Mu`allim Rojiun. Di saat yang sama, pondok pesantrennya di Ujung Malang (Bekasi) kian berkembang pesat. Sejak 1953, lembaga itu bertransformasi menjadi sebuah yayasan, kelak bernama Yayasan At-Taqwa yang sampai sekarang tetap berkiprah.

Indonesia waktu itu dipimpin Presiden Sukarno. Namun, pemerintahannya mulai memberi ruang kepada paham komunisme, yang sesungguhnya anti-agama. Inilah yang membuat KH Noer Ali terjun ke dunia politik praktis melalui Masyumi.

Dalam pemilihan umum 1955, partai Islam itu memeroleh suara terbanyak di Bekasi. Satu tahun kemudian, pimpinan pusat Masyumi memintanya untuk duduk sebagai anggota Dewan Konstituante, yang bertugas menyusun konstitusi baru--sebelum akhirnya dibubarkan secara sepihak oleh Bung Karno.

Dalam masa ini, KH Noer Ali juga berupaya meningkatkan hubungan yang harmonis antara kaum ulama serta santri dengan kalangan militer yang anti-komunis. Dia juga berkiprah dalam Badan Kerjasama Ulama-Militer (BKS-UM) serta menjadi anggota Majelis Ulama di Resimen Infanteri 7/III Purwakarta.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement