Selasa 02 Oct 2018 16:02 WIB

Medis di Era Peradaban Islam

Banyak sekali riwayat dari Nabi Muhammad SAW yang menjelaskan penyakit dan obatnya.

Bimaristan Argun, Aleppo, Suriah.
Foto: Wikipedia.org
Bimaristan Argun, Aleppo, Suriah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Banyak sekali riwayat dari Nabi Muhammad SAW yang menjelaskan penyakit dan obat penyembuhnya. Dalam satu kesempatan, Nabi Muhammad bersabda, "Tidak ada satu pun penyakit yang diciptakan oleh Allah, kecuali Dia juga telah membuat obatnya."

Dalam hadis lain, dikatakan, "Berobatlah karena Allah tidak menurunkan penyakit tanpa menyediakan obat atasnya, kecuali satu penyakit, yaitu usia tua." Sabda beliau lainnya, "Dia-lah yang menurunkan penyakit dan Dia pula yang menurunkan obatnya."

Sejumlah riwayat itu melecut semangat umat Islam sepeninggal Nabi SAW untuk meneliti setiap jenis penyakit serta mencari metode penyembuhannya. Tak mengherankan, dalam kurun waktu relatif singkat, ilmu kedokteran di dunia Islam berkembang pesat. Inilah salah satu pilar penting peradaban Islam di era kejayaannya. Tokoh-tokoh medis pun bermunculan di kota-kota Islam bak jamur di musim hujan.

Tercatat, ada nama Al-Razi (wafat 930 M) yang digadang-gadang sebagai ahli kedokteran terbaik pada abad pertengahan. Ilmuwan yang dikenal di Barat dengan nama Rhazes ini menemukan saraf pangkal tenggorokan.

Ia juga berhasil mengidentifikasi jenis penyakit cacar dan campak. Penemuannya itu ia tulis dalam sebuah risalah dan diakui sebagai karya ilmiah pertama yang menguraikan penyakit cacar dan campak secara detail.

Lahir pula ahli kedokteran yang menulis kitab fenomenal, Al-Qanun fi at-Tibb. Dialah Ibnu Sina yang dikenal di Barat dengan nama Avicenna. Kejeniusannya diakui di dunia Timur dan Barat. Tak tanggung-tanggung, ia dijuluki Aristoteles dari Timur.

Ada pula Abu al-Qasim al-Zahrawi atau Albucacis. Ia dikenal sebagai ahli bedah pertama di dunia Islam. Afzalur Rahman dalam buku berjudul Muhammad sebagai Pecinta Ilmu menyebutkan, Albucacis telah menorehkan prestasinya saat melakukan bedah, termasuk bedah kandungan yang paling sulit sekalipun.

Prestasi gemilang juga ditorehkan oleh Ibnu Juljul, seorang ahli pengobatan herbal dari Kordoba, yang berhasil mengembangkan obat-obatan herbal warisan Yunani. Dalam karya-karyanya, ia menjelaskan sifat-sifat tumbuhan serta mengungkap efek yang ditimbulkan dari penggunaan tumbuh-tumbuhan itu bagi tubuh manusia.

Bersama dengan munculnya ahli-ahli medis yang sangat banyak jumlahnya, dibangun pula lembaga-lembaga kesehatan berupa klinik ataupun rumah sakit. Rumah sakit pertama dalam peradaban Islam dibangun oleh Khalifah Al-Walid dari Dinasti Umayyah.

Hebatnya lagi, konsep rumah sakit Islam sejak dini sudah memerhatikan asas etika moral, baik bagi pasien maupun dokternya. Afzalur Rahman menjelaskan, rumah sakit besar Al-Manshur yang didirikan di Damaskus pada tahun 1284 merupakan rumah sakit terbuka untuk semua lapisan masyarakat. Kaya atau miskin, laki-laki atau perempuan, bangsawan atau rakyat jelata, semuanya mendapatkan pelayanan yang baik.

Rumah sakit ini memiliki bangsal yang terpisah antara laki-laki dan perempuan. Satu bangsal dibuat terpisah khusus untuk penderita demam; khusus untuk penderita penyakit mata; khusus untuk penderita penyakit pencernaan; dan ada ruang untuk bedah. Tersedia pula beberapa ruang tambahan yang dimanfaatkan untuk dapur, ruang kuliah, apotek, dan lain sebagainya.

Lengkapnya sarana dan prasarana rumah sakit tersebut disempurnakan dengan etika kedokteran Islam. Perumusan etika kedokteran ini menjadi lebih mantap pada era Dinasti Turki Utsmani. Dokter-dokter di era Turki Utsmani harus berpegang teguh pada prinsip kesederhanaan/kesopanan, kepuasan, harapan, dan kesetiaan.     

Dalam prinsip kesopanan/kesederhanaan, seorang dokter harus menyadari bahwa dirinya adalah khalifah Tuhan yang bertugas menolong proses penyembuhan pasien. Seorang dokter hanyalah sarana, sedangkan penyembuh nyata adalah Allah SWT.

Di samping itu, seorang dokter harus melawan uang yang bukan haknya dengan alasan pengobatan. Etika yang ditetapkan menuntut seorang dokter agar menahan diri untuk tidak menjadi ambisius dan tekun mengumpulkan harta.

Seorang dokter juga diwajibkan melanjutkan pengobatan kepada pasiennya selama dia mampu, yaitu merawat pasiennya secara jujur dan tidak mengenal putus asa.

Demikianlah semangat umat Islam kala itu berbuat untuk manusia dan kemanusiaan. Mereka jauh dari roh persaingan yang memperebutkan keuntungan material. Namun, berlomba dalam kebaikan bingkai keimanan yang ditanamkan Rasulullah SAW.

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement