Selasa 21 Aug 2018 14:00 WIB

Cara Ilmuwan Muslim Ubah Pandangan Dunia

Muslim tak hanya mengubah cara pikir, tetapi juga pandangan dunia.

Ilmuwan Muslim.
Foto: Metaexistence.org
Ilmuwan Muslim.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Transformasi peradaban menyentuh bangsa Arab. Para sejarawan mencatat terjadinya perubahan besar berupa pencapain luar biasa di bidang sains dan teknologi. Pada awalnya, tak banyak yang bersentuhan dengan ilmu pengetahuan. Kedatangan Islam mengantarkan mereka pada beragam literatur.

Istilah ilmu atau ilmu yang terdapat dalam kitab suci dan hadis, mendorong geliat tradisi keilmuan. Mereka menyerap ilmu pengetahuan dari beragam sumber. Pedagang dan penjelajah Muslim berperan besar dalam memajukan gairah perubahan di kalangan masyarakat Arab Muslim pada masa awal.

Mereka berasal dari Makkah, Madinah, dan Yaman. Setelah mengadakan perjalanan melintasi gurun pasir, mereka mencapai Mesir, Mesopotamia, dan Suriah yang dikenal sebagai pusat peradaban kuno. Dari wilayah-wilayah itu, berbagai pemikiran ilmiah maupun teknik instrumen lawas dibawa dan diperkenalkan ke jazirah Arab.

Di saat yang bersamaan, muncul kelompok baru di masyarakat Muslim, yakni kalangan terpelajar yang terdiri dari ulama, filsuf, dan cendekiawan. Para tokoh ini sangat tertarik dengan keunggulan peradaban kuno. Mereka menjelma sebagai pendorong utama percepatan kemajuan ilmu di dunia Islam.

Hanya dalam waktu singkat, terjadi perkembangan pesat di bidang politik, sosial, budaya, dan pemikiran. Muhammad Abdul Jabar Beg, peneliti tamu di Cambridge Universtity, Inggris, dalam tulisannya The Origins of Islamic Science menyatakan, Muslim tak hanya mengubah cara pikir, tetapi juga pandangan dunia.

Menurut dia, sikap ini mendorong mereka mengkaji dan mempelajari warisan peradaban kuno yang mereka temukan. Kegiatan itu terus berlangsung hingga masa kekhalifahan pada abad ke-8 Masehi. Para penguasa memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan bidang ilmu.

Buku berjudul Ilmuwan Muslim Pelopor Hebat di Bidang Sains Modern karya sejarawan Ehsan Masood mengungkapkan, salah satu ciri periode pembangunan Islam yakni menyerap keunggulan peradaban lain, memodifikasi, dan melakukan inovasi. Islam kemudian melahirkan sejumlah ilmuwan terkemuka di bidang sains dan teknologi.

Kota-kota pusat ilmu bermunculan di seantero dunia Islam, mulai dari Damaskus, Basra, Kordoba hingga Kairo. Kegiatan intelektual mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah yang ditandai gencarnya gerakan penerjemahan literatur ilmiah asing.

Beberapa cendekiawan Muslim klasik secara khusus mencatat fenomena perubahan yang terjadi pada masyarakat Arab, terutama kecenderungan akan pencarian ilmu. Mereka itu antara lain Ibnu Qutaibah, Al-Khawarizmi, serta Ibnu Al-Qifti. Karya Ibnu Qutaibah berjudul Al-Ma’arif mengulas hal tersebut dalam perspektif sejarah.

Pada buku ensiklopedia ilmu ini, Ibnu Qutaibah menyingkap beragam pemikiran kuno, termasuk legenda, mitos, dan kepercayaan yang diketahui komunitas Muslim pada masa awal. Terdapat pula kajian terkait ilmu pengetahuan, misalnya, teori penciptaan, astronomi, maupun ilmu bumi.

Deskripsi dari Ibnu Qutaibah  menjadi rujukan ilmiah para sarjana Muslim berikutnya, bahkan memengaruhi perkembangan sains di dunia Barat. Sedangkan, buku Mafatih Al-Ulum  (Kunci Ilmu), yang disusun Al-Khawarizmi, dipandang sebagai karya umat Islam pertama yang meneliti asal mula sains Islam.

Gagasan itu lantas diperluas Al-Qifti lewat karyanya, Tarikh Al-Hukama. Ia menuliskan secara perinci sebanyak 144 biografi filsuf dan cendekiawan kondang pada masa Yunani kuno hingga masa kekhalifahan. Menurut dia, proses transfer ilmu pada masa awal Islam berlangsung lebih pesat di kawasan Semenanjung Arab.

Wilayah itu berdekatan dengan pusat-pusat peradaban kuno. Pengetahuan kuno dalam bidang seni, teknologi, dan pemikiran, disampaikan oleh para hukama (tetua) melalui cerita, dongeng, dan mitos, dari generasi ke generasi. Informasi ihwal pengetahuan dan teknologi itu juga berasal dari para pengembara dan pedagang Islam.

Bangsa Arab menyebut sains kuno itu dengan Ulum Al-Awa'il, yang segera disesuaikan dengan tradisi setempat dan mulai digunakan secara luas. Misalnya, roda dan kapal layar yang ditemukan peradaban Mesopotamia. Begitu pula standar timbangan dari bangsa Sumeria. Sistem angka Arab berasal dari peradaban India kuno.

Proses peralihan

Al Qifti mencatat, hingga akhir abad ke-7 Masehi, orang-orang Arab melakukan proses peralihan pengetahuan masih secara lisan, belum dengan tulisan ilmiah. Keingintahuan yang besar dan semangat keilmuan yang membuncah mampu meningkatkan intensitas interaksi antara umat Islam dan sains teknologi kuno.

Penyebaran agama Islam yang kian luas semakin menambah jumlah orang dari berbagai wilayah untuk memeluk agama ini. Hal itu akan memperbanyak khazanah pengetahuan asing yang dapat diserap. Umat Islam menjadi begitu dekat dengan tradisi, sejarah, dan sains peradaban kuno.

Sebagai contoh, Khalifah Khalid bin Yazid mengawali studi alkimia yang diperolehnya dari literatur kuno,” urai Muhammad Abdul Jabar Beg. Catatan sejarah mengungkapkan, sang khalifah merupakan salah satu pakar kimia pertama di dunia Islam. Ia memiliki peran besar dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

Khalifah Khalid bin Yazid mendorong para ilmuwan dari Damaskus, Suriah dan Kairo, Mesir untuk menerjemahkan buku-buku bidang kimia, kedokteran, dan astronomi dari literatur Yunani kuno dan Koptik ke dalam bahasa Arab. Selanjutnya, kaum cendekia Muslim mengembangkan pemikiran dan inovasinya sendiri.

Khalifah Al-Mansur dan Penerjemahan

Situasi politik memberi pengaruh pengembangan tradisi keilmuan. Saat kekuasaan pemerintahan Islam berada di tangan Khalifah Abu Ja’far Al-Mansur (754-775 Masehi),  masyarakat menggalang koalisi antara Arab dengan Persia. Tak heran, jika saat Khalifah berkuasa, sejumlah orang Persia diberi peran pula dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

Salah satu bidang yang menjadi perhatiannya adalah astrologi. Ada nama sejumlah astrolog yang masuk dalam lingkaran khalifah, yaitu  Nawbakht, seorang Persia yang semula pemeluk Zoroaster dan akhirnya memeluk Islam, dan Masha'Allah Al-Yahudi, yang semula beragama Yahudi.

Sosok lain dalam bidang ini yang masuk lingkaran ilmuwan istana adalah mereka yang sejak semula Muslim. Mereka adalah Ibrahim Al-Fazari dan Umar Al-Tabari. Sejumlah ilmuwan menyatakan, Nawbakht merupakan ilmuan yang mengawali penerjemahan sejumlah teks Persia ke dalam bahasa Arab, meski tak diketahui buku apa yang ia terjemahkan.

Ibnu Al-Muqaffa ikut melakukan penerjemahan teks-teks dari Pahlavi (Persia Tengah) ke dalam bahasa Arab. Ibnu Al-Qifti dalam bukunya Tarikh Al-Hukama yang diedit oleh J Lippert Leipzig mengatakan, Ibnu Al-Muqaffa atau Rozbih adalah seorang Persia yang memeluk Islam. Ia merupakan salah satu orang yang menguasai literatur sastra Arab.

Ia menerbitkan sejumlah karyanya, seperti Adab Al-Kabir wa Adab Al-Saghir yang diterjemahkan dari Pahlavi Kalilah wa Dimnah. Selain itu, Ibnu Al-Muqaffa menerjemahkan Khuday-Nama (Book of Kings) ke dalam bahasa Arab dengan judul

Siyar Muluk Al-A‘jam.

Sementara itu, informasi mengenai sejarah pengobatan Islam didasarkan pada sumber-sumber biografi. Selain dari Ibnu Al-Qifti lewat bukunya Ta'rikh Al-Hukama, juga dari  ‘Uyun Al-Anba' fi Tabaqat Al-Atibba yang ditulis oleh Ibnu Usaybi'ah, serta sejumlah penggalan informasi.

Pengembangan ilmu pengobatan telah berawal dari masa Rasulullah SAW. Pada masa selanjutnya, umat Islam bersedia belajar dari peradaban lain, misalnya Al-Harith bin Kaladah Al-Thaqafi yang belajar di Jundishapur, Persia. Kemudian, karya-karya ilmuwan Muslim berganti menjadi rujukan, termasuk ke wilayah Eropa.

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement