Jumat 27 Jul 2018 16:35 WIB

Belajar dari Hudaibiyah

Hudaibiyah menjadi satu kemenangan yang nyata bagi kaum Muslimin.

Artefak perjanjian Hudaibiyah
Artefak perjanjian Hudaibiyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Hudaibiyah menorehkan sejarah berharga bagi kaum Muslimin. Iman kepada janji Allah lewat lisan Rasulullah SAW akan datang. Untuk kebanyakan awam, perjanjian ini merugikan. Bagaimana tidak? Rombongan besar yang berjumlah lebih dari seribu orang itu harus kembali ke Madinah karena menerima keberatan kaum Quraisy.

Padahal, mereka sudah menempuh perjalanan berliku de ngan medan nan terjal. Mereka lebih suka untuk perang ketimbang pulang kembali ke Makkah. Namun, mereka pun taat meski berat kepada perjanjian yang sudah ditorehkan Nabi SAW bersama Suhail bin Amr.

"Inilah yang sudah disetujui oleh Muhammad bin Abdullah dan Suhail bin Amr. Kedua belah pihak mengadakan gencatan senjata selama sepuluh tahun—menurut sebagian penulis sejarah Nabi—atau dua tahun menurut al-Waqidi—bahwa barang siapa dari golongan Quraisy menyeberang kepada Muhammad tanpa seizin walinya, harus dikembalikan kepada mereka. Dan barang siapa dari pengikut Muhammad menyeberang kepada Quraisy, tidak akan dikembalikan; bahwa barang siapa dari masyarakat Arab yang senang mengadakan persekutuan dengan Muhammad diperbolehkan, dan barang siapa yang sedang mengadakan persekutuan dengan Quraisy juga diperbolehkan. Bahwa untuk tahun ini, Muhammad dan sahabat-sahabatnya harus kembali meninggalkan Makkah. Dengan ketentuan, akan kembali pada tahun berikutnya. Mereka dapat memasuki kota dan tinggal selama tiga hari di Makkah dan senjata yang dapat mereka bawa hanya pedang tersarung dan tidak dibenarkan membawa senjata lain." (Ditukil dari Sejarah Hidup Muhammad, Muhammad Haikal).

Selepas penandatanganan perjanjian Hudaibiyah, Abu Jandal bin Suhail bin Amr datang. Dia ingin menggabungkan diri dengan kaum Muslimin. Dia hendak pergi bersama mereka. Melihat anaknya berlaku demikian, Suhail memukul wajah anaknya.

Direnggutnya leher Abu Jandal untuk di bawa kembali kepada kaum Quraisy. Abu Jandal pun berteriak keras. "Saudara-saudara Muslimin. Saya akan dikembalikan ke pada orang-orang musyrik yang akan menyiksa saya karena agama saya ini!" Kaum Muslimin pun gelisah. Mereka tidak senang dengan hasil perjanjian tersebut.

Nabi SAW pun mengarahkan kata-katanya kepada Abu Jandal. "Abu Jandal, tabahkan hatimu. Semoga Allah membuat engkau dan orang-orang Islam yang ditindas bersama kau merupakan satu jalan keluar. Kita sudah menadatangani persetujuan dengan golongan itu, dan ini sudah kita berikan kepada mereka. Dan mereka pun sudah pula memberikan kepada kita. Dengan nama Allah, kita tidak akan mengkhianati mereka."

Rombongan yang terdiri atas 1.400 orang itu muram. Sebagian diantaranya dengan hati gusar. Banyak diantara mereka menghitung apa yang sudah dilakukan Nabi SAW. Saat melakukan perjanjian de ngan Suhail, Nabi kerap mengalah. Rasulul lah bersedia mengganti kalimat bismillahirrahmanirrahim dengan bismikal lahumma sesuai permintaan Suhail. Nabi SAW pun mau untuk mengganti titel Mu ham mad Rasulullah dengan Muhammad bin Abdullah setelah diprotes Suhail yang memang tidak mengakui kenabian Mu ham mad SAW.

Peristiwa Abu Jandal seakan mengukuhkan kembali pertanyaan mereka. Poin perjanjian Hudaibiyah yang menyebutkan golongan Quraisy yang menyeberang kepada Nabi Muhammad harus dikembalikan sementara kaum Muslimin yang hendak berpihak kepada Makkah tidak perlu dikembalikan dinilai tak seimbang. Sampai-sampai Umar bin Khattab berkata kepada Abu Bakar: "Bukankah dia Rasulullah?" "Ya, memang!" "Bukankah kita ini Muslimin?" "Ya memang" "Kenapa kita mau direndahkan dalam soal agama kita?" Abu Bakar pun menjawab: "Umar, duduklah di tempat mu. Aku bersaksi bahwa dia Rasulullah." Rasulullah kemudian shalat. Ia gelisah melihat keadaan orang-orang sekeliling.

Setelah keadaan mulai tenang, Nabi SAW berdiri dan menyembelih hewan kurbannya. Ia duduk kembali. Rambut kepalanya di cukur sebagai tanda umrah sudah di mulai. Hatinya merasa tenteram. Rombongan lantas mengikuti apa yang dicontohkan Rasulullah SAW. Sebagian ada yang bercukur, lainnya memangkas rambut pendek.

Nabi SAW pun mendoakan orang-orang yang mencukur rambut. Orang-orang kem bali gelisah. Mereka berkata: "Dan mereka yang berpangkas rambut, ya Rasulullah?" "Dan mereka yang berpangkas rambut," kata Nabi SAW. Sahabat kemudian bertanya: "Kenapa hanya doa yang bercukur yang dinyatakan? Bukan orang yang berguniting rambut?" Nabi SAW menjawab: "Karena mereka tidak ragu-ragu."

Di tengah perjalanan pulang, Nabi SAW mendapat wahyu yang teramat jelas mengenai dampak dari Hudaibiyah. "Kami telah memberikan kepadamu suatu kemenangan yang nyata; supaya Tuhan mengampuni kesalahanmu yang sudah lalu dan yang akan datang, dan Tuhan akan mencukupkan karunia-Nya kepadamu serta membimbing engkau ke jalan yang lurus.." (QS al-Fath).

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan, Rasulullah menganggap surat ini kebaikan dari apa yang matahari terbit diatasnya (dunia) karena memang ada janji dan kabar gembira disana. Keterangan ini di tukil dari Hadis shahih Bukhari yang ber sumber dari Umar bin Khattab. Rasu lul lah SAW bersabda: "Tadi malam telah tu run surat kepadaku. Surat itu lebih aku cintai dari apa yang matahari terbit diatasnya." Selanjutnya Nabi SAW membaca QS al-Fath tersebut.

Hudaibiyah memang sebuah ujian yang nyata. Terbayangkah sebelum itu, Nabi SAW meminta baiat para sahabat berupa Baiatul Ridzwan. Nabi SAW resah karena Utsman bin Affan yang diutus ke kalangan Quraisy untuk membuka jalan rombongan bisa menunaikan ibadah haji di Makkah tak juga kembali. Ikrar ini dibuat demi men cegah perang. Ikrar itu berbunyi: "Allah sudah rela sekali terhadap orang-orang beriman tatkala mereka berikrar kepadamu di bawah pohon. Tuhan telah me ngetahui isi hati mereka, lalu diturunkan-Nya kepada mereka rasa ketenangan dan memberi balasan kemenangan kepada mereka dalam waktu dekat ini." (Bai'at ar-Ridz wan).

Hudaibiyah menjadi satu kemenangan yang nyata bagi kaum Muslimin. Sejarah mencatat, isi perjanjian ini merupakan satu kebijaksanaan dan pandangan yang jauh ke depan. Usai Hudaibiyah, kaum Quraisy pertama kali mengakui Muhammad bukan sebagai pemberontak. Namun, sebagai orang yang setara dengan mereka. Mereka pun mengakui kedaulatan Islam. Mereka juga membuat pengakuan jika Nabi SAW berhak berziarah ke Ka'bah serta mela ku kan upacara-upacara ibadah haji. Satu peng akuan pula bahwa Islam diakui se ba gai agama yang sah.

Gencatan senjata tersebut pun membuat pihak Muslimin jauh lebih aman. Kaum Muslimin tidak khawatir akan mendapat serangan Quraisy yang juga menjadi jalan untuk Islam lebih menyebar. Bukankah orang-orang Quraisy yang menjadi musuh utama orang Islam sudah tunduk dalam perjanjian.

Dua bulan setelah Hudaibiyah, Nabi SAW bahkan mulai mengirimkan suratsurat kepada para raja dan kepala negara sekelas Heraklius di Romawi hingga Khosrou di Persia. Sejarah mencatat, usai perjanjian peletakan senjata tersebut, Islam tersebar jauh lebih besar. Jika jumlah mere ka yang datang ke Hudaibiyah hanya 1.400 orang, kaum Muslimin mencapai jumlah 10.000 orang saat hendak me nakluk kan Makkah (Fathu Makkah).

sumber : Dialog Jumat Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement