Jumat 09 Mar 2018 14:49 WIB

Perpustakaan dalam Peradaban Islam

Perpustakaan-perpustakaan Islam pernah mengalami kejayaan.

Rep: Nashih Nasrullah/ Red: Agung Sasongko
Siswa membaca buku di perpustakaan.  (ilustrasi)
Foto: Antara/Arif Firmansyah
Siswa membaca buku di perpustakaan. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tradisi keilmuan peradaban Islam cukup dinamis. Ini dibuktikan dengan munculnya banyak karya di berbagai disiplin ilmu. Ragam hasil pemikiran tersebut sebagiannya terdokumentasikan hingga kini dalam bentuk buku cetak ataupun digital. Terpeliharanya karya para ulama masa lalu itu tidak terlepas dari fungsi dan keberadaan perpustakaan.

Menurut John L Esposito dalam Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, perpustakaan-perpustakaan Islam pernah mengalami kejayaan. Kegemilangan yang sama hendak dicapai oleh Muslim masa kini. Kegemaran kaum Muslim belajar secara alamiah menghasilkan budaya baca dan kegiatan pelestarian buku.

Koleksi perpustakaan pertama muncul pada periode Umayyah. Beberapa koleksi di perpustakaan itu bahkan masih terjaga hingga sekarang. Kemajuan pengembangan ilmu pengetahuan telah mampu menghadirkan catatan terkait aktivitas kepustakaan dan pengumpulan buku.

Adalah Khalid bin Yazid (704 M), dikenal sebagai sastrawan sekaligus kolektor buku. Mulanya, tradisi pengumpulan dan kepustakaan itu berawal dari perorangan, lembaga masjid, dan lembaga pendidikan. Institusi paling mononjol soal ini adalah masjid.

Khalifah al-Manshur (775 M) disebut-sebut sebagai pendiri cikal bakal perpustakaan. Ia mendirikan biro terjemahan di Baghdad. Pada pemerintahan al-Ma’mun (833 M), inisiatif tersebut disempurnakan dengan pendirian Bayt al-Hikmah yang merupakan perpustakaan pelopor kala itu. Bahkan, lembaga yang berdiri pada 830 M itu, didaulat sebagai lahan sentral pengetahuan dunia Islam.  

Keberhasilan itu merembet ke sejumlah wilayah kekuasaan Islam. Di Kairo, Dinasti Fatimiyah membangun Dar al-Ilmi, keturunan Bani Umayyah di Kordoba Spanyol mendirikan perpustakaan dengan koleksi buku sebanyak 400 ribu jilid. Geliat penulisan pun meningkat setelah kertas mulai dikenalkan di dunia Islam pada abad ke-8 Masehi. Penggunaan kertas itu kian populer dan memunculkan ragam profesi baru, salah satunya warraq atau panyalur dan penyalin kertas.

Pada 987 M, Ibn Nadim, yang tersohor sebagai warraq, menulis sebuah kepustakaan penting dengan karyanya yang berjudul al-Fihrist. Buku itu berisi tentang daftar-daftar buku berikut isinya secara umum. Kesemua buku itu adalah karya yang pernah ia tangani.

Selanjutnya, kepustakaan dikembangkan oleh cendekiawan ternama asal Istanbul, Hajj Khalifah. Ia membuat daftar kitab-kitab klasik dilengkapi uraian singkat isinya. Total keluruhannya berjumlah 14.500 judul buku.

Sayangnya, buku-buku yang ada sepanjang sejarah kerap menjadi sasaran perusakan, aik oleh bencana alam atau ulah tangan manusia. Sejarah mencatat, tentara Mongol di Bahgdad pernah menghancurkan secara massal karya-karya Muslim saat itu. Pada masa inkuisisi Spanyol, terjadi pemindahan ribuan naskah dari dunia Islam ke perpustakaan personal di Barat. Paling terkenal ialah Perpustakaan Inggris, Bibliotheque Perpustakaan Nasional Perancis.

Pada abad ke-20, kondisi perpustakaan dan pustakawan yang agak memprihatinkan mendorong otoritas sejumlah negara mendirikan perpustakaan nasional untuk meninventarisasi koleksi-koleksi sarjana Muslim. Seperti yang dilakukan oleh Yordania dan Mesir. Tapi, tetap saja pamor perpustaan tersebut kurang. Bahkan, kalah dengan perpustakaan umum. Di beberapa negara, perpustakaan umum justru lebih diminati, seperti di Turki, Yordania, Pakistan, dan Malaysia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement