Rabu 12 Oct 2016 20:31 WIB

Keistimewaan Penduduk dan Kota Madinah

Rep: Syahruddin el-Fikri/ Red: Agung Sasongko
 Masjid Jumat terletak tidak jauh dari Masjid Quba di Madinah, Arab Saudi. Masjid ini dibangun untuk memperingati lokasi Rasulullah pertama kali melaksanakan Shalat Jumat yang dahulunya adalah lembah bernama Wadi Ranuna.
Foto: Republika/ Amin Madani
Masjid Jumat terletak tidak jauh dari Masjid Quba di Madinah, Arab Saudi. Masjid ini dibangun untuk memperingati lokasi Rasulullah pertama kali melaksanakan Shalat Jumat yang dahulunya adalah lembah bernama Wadi Ranuna.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keramahan masyarakat Madinah dikenal di seantero dunia Islam. Inilah salah satu keistimewaan yang dikaruniakan Allah kepada mereka, di samping sejumlah keistimewaan kota Madinah sendiri. Hati penduduk Madinah dibuka oleh Allah SWT untuk segera mendekap dan memeluk risalah Nabi SAW ketika mendengar keagungan Islam. Bahkan, itu semua dilakukan dengan pengorbanan darah, pikiran, harta, dan tenaga.

Mengapa penduduk Madinah punya karakter terbuka, sementara orang-orang Makkah kaku dan keras hati?. (Baca: Keagungan di Balik Nama Madinah)

Muhammad Musthofa Mujahid punya penjelasan tentang hal ini. Dalam bukunya Abqariyatu ar-Rasul fi Iktisab al-'Uqul (Rasulullah Sang Jenius), ia mengungkapkan bahwa faktor utama pembentuk karakter penduduk Madinah adalah pekerjaan mereka, yaitu bertani.

Masyarakat petani terbiasa hidup dalam suasana tolong-menolong, baik dalam tingkat keluarga ataupun masyarakat. Kegiatan pertanian menuntut kerjasama antarindividu, terutama pada musim tanam dan panen.

Pada masa penantian panen pun, menurut Mujahid, mereka mempunyai aktivitas lain, seperti menjaga tanaman, memerah susu, atau bersosialisasi dengan sesama petani. Kondisi seperti ini membentuk karakter masyarakat Madinah yang terbuka, baik untuk berdialog ataupun kerja sama.

Keadaan sebaliknya terjadi pada masyarakat Makkah yang umumnya berprofesi sebagai pedagang. Cara berpikir pedagang lebih bersifat transaksional. Berpedoman pada hukum untung dan rugi. Oleh karena itu, mereka sulit diajak berdialog.

Orang sehebat Umar bin Khaththab pun terheran dengan keluwesan penduduk Madinah. Namun ia segera menyadari bahwa watak mereka terbentuk karena pola kerja keseharian yang digeluti.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement