Senin 13 May 2019 19:18 WIB

Puasa dan Kejernihan Jiwa

Memimpin tanpa nafs al-muthma’innah, hanya akan mengejar pangkat dan kekuasaan.

Ilustrasi Ramadhan
Foto: Pixabay
Ilustrasi Ramadhan

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: KH Said Aqil Siroj

Ramadhan merupakan oase di tengah degub kencang kehidupan. Pada Ramadhanlah umat Islam memiliki ruang jeda untuk melakukan tafakur, merefleksikan diri, dan mengendapkan batin.

Baca Juga

Ibadah puasa sudah ada pada agama-agama terdahulu, yang kemudian disempurnakan dalam syariat Islam, pada abad kedua Hijriyah. Ibadah puasa memiliki sederet hikmah penting dalam kehidupan yang sesungguhnya. Puasa menjadi ibadah yang berdimensi zahir dan batin, yang meningkatkan kualitas fisik dan spiritual manusia.

Ibadah puasa mengantarkan kita menjadi pribadi yang sehat secara fisik dan matang spiritualitasnya. Ritual puasa memberi efek positif dalam tubuh manusia, setelah selama sebelas bulan organ-organ tubuh bekerja tanpa henti. Puasa juga mendorong lahirnya kekuatan mental, ketenangan jiwa, dan menumbuhkan pribadi mulia. Ketahanan fisik dan kematangan spiritual, merupakan prasyarat utama manusia sebagai pemimpin di muka bumi.

Puasa juga menjernihkan batin kita. Ibadah puasa yang dijalani akan meningkatkan kualitas kepribadian manusia. Ritual puasa yang dilakukan secara khusyuk dan ikhlas, akan meminggirkan amarah dan menghadirkan ketenangan berpikir. Hal ini, sesuai dengan hikmah puasa, yang berfungsi untuk mengendalikan hawa nafsu. Manusia yang tidak bisa mengendalikan nafsunya, hanya akan menjadi pribadi yang egois, perusak alam, dan pengejar kekuasaan.

Pada prinsipnya, hawa nafsu diuraikan dalam tiga hal: Pertama, nafsu ghadabiyyah. Yakni, nafsu yang mendorong manusia untuk mengejar pangkat, kedudukan, atau ambisi. Misalnya, keinginan untuk memburu rumah mewah, mobil mahal, dan pangkat jabatan.

Kedua, nafsu syahwatiyyah yang menjadikan manusia gemar mengejar ambisi ataupun kenikmatan seperti mobil mewah, rumah megah, dan sebagainya. Mereka yang dapat mengendalikan nafsu, dengan menahan diri dari amarah dan syahwat akan menuai kebeningan batin dan kesejukan spiritual.

Pada titik inilah, manusia merasakan nafsu yang ketiga, nafsu muthmainnah. Yakni, nafsu yang lembut, menghadirkan ketenangan dan gelisah yang menggelayut dalam jiwa manusia.

Allah menjanjikan bagi orang-orang yang berhati lembut, dengan janji kemuliaan hidup. Mereka yang berhati tenang akan dicintai Allah dan dimasukkan dalam golongan yang dekat dengan-Nya. Janji surga merupakan balasan terhadap orang-orang yang beribadah karena cinta dan meraih kebeningan hati dalam tafakur sunyi.

Firman Allah, ”Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. Maka, masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam Surga-Ku (QS al-Fajr, 27-28).

Manusia yang mencapai tingkatan thuma’ninah inilah yang layak menjadi pemimpin dan referensi sikap hidup. Ketenangan jiwa dan kejernihan berpikir mutlak diperlukan untuk memutuskan sikap dan mengeksekusi kebijakan. Ketegasan pemimpin tanpa dibarengi dengan kejernihan batin, hanya akan melahirkan konfrontasi, bukan produktivitas politik.

Memimpin tanpa dibarengi dengan nafs al-muthma’innah, hanya akan menjadi pribadi yang mengejar pangkat dan kekuasaan, bukan murni untuk kemaslahatan umat. Pemimpin yang berpoles citra, bukan berbekal kekuatan iman dan ketenangan jiwa, pada akhirnya akan terkubur oleh janji-janjinya.

Ketenangan jiwa juga akan menghindarkan manusia dari fitnah keji dan sikap yang zalim. Mereka yang mencapai maqam muthmainnah, tidak akan pernah melempar kampanye hitam dan menyebar kesesatan. Juga, tidak akan membabi-buta dalam mengampanyekan ide-ide dan calon pemimpinnya. Sebab, tidak ada yang sepenuhnya sempurna, kecuali Allah ‘Azza wa jalla.

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement