Kamis 17 Jan 2019 16:53 WIB

Kisah Penulis Obor Rakyat: Senandung Barzanji di Cipinang

Jumat ternyata hari yang dirindukan bagi mantan penghuni Lapas Cipinang.

Kibat Barzanji
Foto: wikipedia
Kibat Barzanji

Oleh: Darmawan Sepriyossa, Jurnalis Senior

Seperti goa tempat sembilan bulan Ibrahim bin Adham beruzlah di dalamnya, penjara bisa saja wadah yang berkah. Laiknya yang kami alami di hari-harinya.

Kamis malam, 10 Mei 2018, di hari ketiga kami berada di Cipinang, ada yang membuat hati saya seolah kembali dimudakan. Bada Isya itu, tidak seperti biasanya orang-orang tak segera menggelar tilam untuk tidur.

Di lapak Mushala, Blok Penampungan alias blok Masa Pengenalan Lingkungan (Mapenaling), sebagian area memang dipakai untuk shalat jamaah. Itu membuat warga lapas ini selalu siap menebar-gulung tilam kapan pun diperlukan. Kamis malam bada Isya ternyata menjadi waktu bagi warga berkumpul untuk membacakan syair-syair Barzanji.

Terakhir saya menyenandungkan Barzanji adalah sekitar 1982, saat SD. Maka syair-syair yang terlantun pun segera membawa saya ke masa-masa itu. Saat-saat hati begitu jernih, dan pikiran pun belum terpolusi. Masa-masa ketika diri sepenuhnya diasuh kasih sayang aba dan umi—kami memanggil mereka mamah dan apa.

Mungkin karena hati yang seolah disucikan kembali itu, syair-syair pujian dan pernyatan cinta kepada Muhammad Sang Nabi pun, begitu menggetarkan. Mata saya tak kuasa menahan air yang terus membual keluar.

Dada sesak oleh rasa yang tak terlukiskan kata-kata. Ada rindu yang seolah tak tertahan; ada bangga menjadi bagian dari pengikutnya, bahkan ada syukur sempat kembali melantunkan pujian-pujian Barzanzi, sekali pun di sini, di balik jeruji yang di mata umum mungkin jadi pertanda rendahnya diri.

“Assalamualaik, Zainal Anbiya..

Assalamualaik, Atqool Atqiya…

(Salam sejahtera bagimu, Wahai Nabi yang Mulia.

Salam sejahtera bagimu, pemimpin orang-orang bertakwa…)

Esok harinya, kebiasaan yang sama—melantunkan Barzanzi dan membaca kitab perjalanan kehidupan Nabi, Simtudduror, ternyata juga dilakukan di masjid besar Lapas Cipinang. Waktunya bada Ashar. Pesertanya lebih banyak, ratusan jumlahnya.

Alhasil, setelah kami pindah menempati sel yang lebih pasti, Jumat selalu menjadi hari yang dinanti-nanti. Saat itu, tak hanya berusaha mengisi hari yang penuh berkah, sorenya kami semua melunaskan kerinduan kepada Nabi dengan melantunkan Barzanzi. Di Lapas Cipinang, Jumat adalah hari penuh rindu dan tampaknya dirindukan banyak mereka yang pernah menjalani sebagian hidup di sana.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement