Ahad 24 Feb 2013 11:18 WIB

Enam Panduan Berbicara Bagi Kaum Beriman

Berbicara (Ilustrasi)
Berbicara (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh M Husnaini

Setiap manusia punya hak berbicara. Berbicara adalah alat komunikasi tertua, selain juga paling murah bagi manusia.

Sebelum bisa membaca dan menulis, manusia sudah mampu berbicara untuk menyampaikan maksudnya. Mula-mula manusia berbicara dengan isyarat dan tanda, kemudian berkembang menjadi aneka ragam bahasa seperti sekarang.

Berbicara yang baik bisa membuat hubungan menjadi intim dan akrab. Sebaliknya, berbicara ngawur berisiko menebar racun permusuhan. Demikian dahsyat dampak berbicara sehingga Islam memberikan panduan khusus untuknya. Bagaimana panduan berbicara?

Pertama, berbicara benar (qaulan sadida). Berbicara benar berarti juga mengandung kejujuran. Jujur melahirkan kepercayaan, sementara kepercayaan adalah modal kebersamaan. Karut marut negeri ini jelas akibat dari menguapnya kejujuran. “Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tidak akan percaya,” kata orang Melayu.

Para elite negeri ini berkali-kali lancung ke ujian, sehingga butuh upaya keras agar orang mau percaya lagi “Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan berbicaralah yang benar” (Al-Ahzab: 70-71).

Kedua, berbicara yang baik (qaulan makrufa). Makruf adalah nilai kebaikan yang diakui masyarakat dan tidak bertentangan dengan norma dan agama. Kita diperintah untuk berbicara yang baik dan pantas menurut takaran norma dan agama, isi maupun cara. Dilarang berbicara jorok dan dusta, karena itu menyalahi norma dan agama. “… berilah anak-anak yatim belanja dan pakaian dan berbicaralah kepada mereka dengan ucapan yang baik” (An-Nisa: 5).

Ketiga, berbicara mulia (qaulan karima). Memuliakan itu cermin unggah-ungguh, apalagi kepada mereka yang lebih tua dari kita. Khusus berbicara kepada orang tua kandung, terutama ketika mereka sudah sepuh, harus dipilih kalimat yang tidak menyinggung perasaan. Jangan berbicara tidak sopan yang merendahkan. “Jika salah satu dari keduanya atau keduanya sudah berumur lanjut dalam peliharaanmu, maka jangan sekali-kali kamu ucapkan ‘ah’ dan jangan kamu membentak mereka dan ucapkan kepada mereka perkataan yang mulia” (Al-Isra: 23).

Keempat, berbicara yang lembut (qaulan layina). Berbicara lembut sangat dianjurkan, karena lebih bisa diterima telinga. Tidak ada yang menyukai ucapan kasar. Inilah alasan kenapa Nabi Musa dan Nabi Harun diperintahkan agar menggunakan bahasa yang lembut ketika hendak menemui Fir’aun. “Dan berbicaralah kalian berdua kepada Fir’aun dengan lembut. Mudah-mudahan dia ingat atau takut” (Thaha: 44). Tetapi lembut bukan berarti lembek. Rasulullah adalah pribadi yang sangat lembut, tetapi tegas dalam menyampaikan kebenaran.

Kelima, berbicara yang menggembirakan (qaulan maisura). Bisa juga berarti ucapan yang memberi harapan. “Dan jika kamu berpaling dari mereka (tidak bisa membantu) untuk memperoleh rahmat dari Tuhan, maka katakan pada mereka ucapan yang menggembirakan” (Al-Isra: 28). Ayat ini terkait teguran Allah kepada Rasulullah ketika datang seorang miskin untuk meminta bantuan kepada Rasulullah, tetapi beliau secara terus terang menyatakan tidak bisa.

Keenam, berbicara yang menyentuh (qaulan baligha). Berarti pula berbicara yang mengena, tidak mutar-mutar. Juga bisa berarti nasihat, saran, atau kritik yang membangun. Kuncinya, semua harus keluar dari hati yang bersih. Teguran akan meninggalkan kesan mendalam jika diucapkan dengan hati yang tulus. Yang dari hati akan sampai ke hati. Sebaliknya, nasihat, saran, atau bahkan kritik akan terasa menyakitkan jika keluar dari emosi membara.

Inilah panduan berbicara bagi kaum beriman. Layaklah kita selalu berusaha dan berdoa, semoga setiap untaian kata dan kalimat yang meluncur dari mulut kita bertabur kejujuran, kebaikan, kemuliaan, kelembutan, harapan, dan kesan mendalam di hati siapa saja yang mendengarnya.

Penulis adalah Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement