Sabtu 06 Sep 2014 15:11 WIB

Hukum Saham dan Bursa Efek dalam Islam (3-habis)

Layar pergerakan harga saham di sebuah bursa efek di Jakarta.
Foto: Republika/Prayogi/ca
Layar pergerakan harga saham di sebuah bursa efek di Jakarta.

Oleh: Hannan Putra

Menurut salah seorang ekonom Islam dari Arab Saudi Khalid Abdul Rahman Ahmad, saham yang diperjualbelikan di bursa efek tidak dibenarkan syariat Islam.

Ia beralasan, selisih uang antara harga saham dan harga nominal tidak diketahui wujudnya dan tidak diperhitungkan ketika pembagian keuntungan perusahaan itu dibagikan kepada pemilik saham. Karenanya, jual beli saham mengandung unsur penipuan yang besar.

Alasan lainnya, perusahaan yang menjual sahamnya tidak lagi didirikan melalui aktivitas anggota pemegang saham, seperti diatur dalam fikih muamalah Islam, tetapi telah berubah fungsi menjadi perusahaan penimbun kekayaan.

Demikian juga mengenai batas waktu berakhirnya persekutuan pemilikan saham, tidak jelas (majhul). Unsur ketidakjelasan dalam transaksi apa pun tidak dibenarkan dalam muamalah Islam.

Di samping itu, untung dan rugi yang menimpa perusahaan tidak memengaruhi harga saham di pasar modal, sehingga pemilik saham akan senantiasa mendapat laba. Kemudian, komisaris dan anggota direksi selaku pengelola perusahaan selalu memperoleh keuntungan. Padahal, menurut ajaran Islam, upah yang diterima seseorang diperhitungkan dari untung atau ruginya suatu perusahaan.

Pendapat tentang haramnya transaksi saham melalui bursa efek juga muncul dari Majelis Fatwa Syariat Kuwait. Alasannya, unsur-unsur syirkah al-asham yang dikenal dalam fikih Islam tidak terlihat dalam bursa efek. Di samping itu, dalam kegiatan ini sangat menonjol unsur penipuan (gurur).

Para ulama dan peminat hukum Islam di Indonesia mengemukakan beberapa pendapat. Pakar Ilmu Syariat UIN Jakarta Dr H Peunoh Daly mengatakan, jual beli saham di bursa efek mengandung gurur. Hal ini dilarang dalam Islam.

Menurutnya, jual beli saham di bursa efek sama dengan memperjualbelikan ikan dalam kolam yang tidak diketahui jumlahnya atau menjual buah-buahan di pohon dan belum matang. Unsur spekulasinya terlalu besar, sehingga bisa mencelakakan orang banyak. Sikap seperti ini dilarang syarak. Menurut Peunoh Daly, jual beli saham di bursa efek setidaknya berhukum makruh.

Dosen fikih Islam Pascasarjana UIN Jakarta Dr H Satria Effendi juga mengatakan hal yang sama. Menurutnya, transaksi jual beli saham mengandung dua kemungkinan, yaitu gubun fahisy (kerugian besar) dan gubun yasir (kerugian biasa).

Ekonom dan ahli fikih Islam KH Ali Ya’fie menyatakan, melalui bursa efek hukumnya haram karena memiliki unsur spekulasi yang tinggi, sehingga hampir sama dengan judi.

Dr H Ali Akbar menyatakan dalam jual beli saham itu ada unsur perjudian, spekulasi, dan keinginan untuk cepat kaya. Dalam perdagangan saham itu, keuntungan tetap berada pada pemilik perusahaan, bukan pemegang saham.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement