Rabu 12 Sep 2018 18:05 WIB

Timbuktu Sebagai Pusat Intelektual

Timbuktu berakar dari sebuah permukiman nomaden beberapa mil dari Sungai Niger.

Masjid Sankore di Timbuktu, Mali.
Foto: National Geographic
Masjid Sankore di Timbuktu, Mali.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peradaban Islam telah melahirkan pusat intelektual di Timbukti. Penulis sejarah menyebutkan, Timbuktu berakar dari sebuah permukiman nomaden beberapa mil dari Sungai Niger.

Meski Timbuktu didirikan pada abad ke-12 dan menjadi pusat komersial yang penting, namanya dikenal luas sebagai kota intelektual pada abad ke-15. Lokasi tersebut sangat strategis bagi perdagangan dan menarik banyak orang untuk bermukim di sana. Lokasinya berada di persimpangan Sahara yang kering dan lembah subur Sungai Niger.

Sungai itu sendiri merupakan jalur yang mudah dilalui untuk mengangkut barang dari dan ke daerah-daerah tropis Afrika Barat. Para pedagang kemudian bermukim di sini. Diikuti oleh para cendikiawan Muslim dan membentuk pemukiman permanen.

Populasi di Timbuktu bermacam-macam. Meskipun didirikan oleh Imagharen Tuareg, Timbuktu dihuni orang-orang Arab dari Sahara, berbagai pedagang Soninke, Songhai, yang awalnya sebagai penakluk dan  penggembala dari Fulani. Sampai hari ini, Songhai menjadi bahasa yang dominan. Arab dan Tamasheq juga banyak digunakan.

Kota ini tidak disebutkan di sumber-sumber berbahasa Arab hingga Ibnu Batutah mengunjunginya pada awal abad ke-14. Sekitar 1325, penguasa Mali Mansa Musa mengunjungi kota ini dalam perjalanannya pulang dari ibadah haji. Ia mendirikan tempat tinggal di sana serta Masjid Agung (Jingere-Ber).

Dengan menurunnya kekuasaan kerajaan Mali pada akhir abad ke-14, kota berada di bawah kendali kelompok Tuareg. Tapi, kelompok itu akhirnya diusir pada 1468 ketika Kekaisaran Songhai di bawah kekuasaan Sonni 'Ali berkuasa.

Abad ke-16, khususnya saat pemerintahan Askia al-Haji Muhammad (1493-1528), Timbuktu mencapai era emas di bidang politik dan intelektual. Askia Muhammad adalah pelindung besar para ulama dan sejarawan di kawasan itu. Ta'rikh al-Sudan dan Ta'rikh al-Fattash memuji dia sebagai pemimpin yang saleh dan terpelajar yang mendengarkan nasihat dari para ulama.

Buku selalu menjadi bagian penting dari budaya lokal. Manuskrip dijual dan disalin sejak awal. Di bawah naungan Kekaisaran Songhai (1468-1591), aktivitas intelektual lokal berkembang. Ulama Timbuktu mulai menulis buku-buku mereka sendiri dengan subjek agama dan sekuler, selain komentar tentang karya-karya klasik.

Timbuktu juga merupakan pusat perdagangan buku-buku di abad ke-16. Leo Africanus (al-Hasan bin Muhammad al-Wazzan al-Zayyati) mengatakan, perdagangan buku maju pesat saat ia mengunjungi kota itu di awal abad yang sama.

Naskah-naskah diimpor ke Timbuktu dari Afrika Utara dan Mesir. Para ulama yang berhaji ke Makkah biasanya menyalin naskah yang ada di sana dan di Mesir dalam perjalanan pulang sebagai tambahan koleksi mereka. Di Timbuktu sendiri, industri penyalinan sangat aktif.

Disebutkan, Askia Daoud yang memerintah pada 1548-1583 mendirikan perpustakaan umum di kerajaan. Membentuk perpustakaan pribadi merupakan gairah yang terus hidup, bahkan hingga hari ini. Salah satu ulama Timbuktu paling terkenal Ahmed Baba (1556-1627) mengatakan, perpustakaan pribadinya dengan koleksi lebih dari 1.600 volume adalah salah satu koleksi kecil di antara para ulama lain.

Era keemasan Timbuktu itu tiba-tiba dihentikan oleh invasi Maroko pada 1591 yang diprakarsai penguasa Sa'dian Maroko, Mawlay Ahmed al-Mansur. Peran Timbuktu sebagai pusat intelektual dan komersial secara bertahap mulai menurun setelah invasi. Ahmed Baba bersama seluruh keluarganya diasingkan ke Maroko (1593-1608). Selain itu, perpustakaannya yang luas juga hancur.

Saat penguasa militer kota memutuskan hubungan dengan Sa'dians karena kematian Ahmed al-Mansur, Timbuktu menjadi negara lemah yang terus dipertahankan. Akibatnya, kota itu dilanda kesulitan parah dalam abad-abad berikutnya dan aktivitas intelektual berkurang jauh.

Kota ini berada di bawah kendali Fulani pada paruh pertama abad ke-19 untuk waktu yang sangat singkat. Lalu, diduduki Prancis pada 1894. Pemerintahan Prancis berlangsung sampai kemerdekaan Mali pada 1960.

sumber : Mozaik Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement