Kamis 03 Mar 2011 15:32 WIB

Muslim Radikal, Ulasan Favorit Media AS

Sean Hannity dan Anjem Choudry
Foto: SNAPSHOT/SALON
Sean Hannity dan Anjem Choudry

REPUBLIKA.CO.ID,  NEW YORK - Selasa pekan lalu, tokoh Muslim yang dikenal radikal sekaligus provokator, Anjem Choudary, berencana melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung Putih. Ia berniat menyerukan penerapan hukum syariah di tanah Amerika Serikat.

Apakah protes itu bakal digelar atau tidak, bukan menjadi hal penting bagi sejumlah pengamat dan tokoh Muslim di negara itu. Yang menjadi masalah adalah aksi macam itu cenderung menjadi santapan dan propaganda sejumlah media untuk mencitrakan Islam.

Choudary, yang dikenal memuja terorisme dan menyerukan hukum rajam bagi para gay serta sering mengolok pemerintah demokratis di dunia, berulang kali terlihat di Fox dan CNN serta memunculkan bermacam artikel di media aliran sayap kanan. Bahkan seorang anggota Kongres sempat mengusulkan pelarangan pemberian visa secara permanen kepada Choudary.

Ironisnya, lelaki bertempat tinggal di London itu memang sudah lama menghiasi wajah media Inggris sebagai tokoh radikal Islam, terlepas dari fakta bahwa ia tak memiliki kredibilitas agama dan juga tidak ada dukungan publik.

Ketika  Choudari diwawancara pekan lalu. Ia menolak mendiskusikan seberapa besar pendukung yang ia punya usai mengklaim akan mendatangkan 150 orang saat demonstrasi. "Saya tidak akan memberi detail urusan administrasi kami," ujarnya.

Media yang kerap meliput pun terutama dari tabloid golongan sayap kanan, News Corp yang dimiliki Rupert Murdoch--notabene juga pemilik Fox News

"Ia adalah pelacur media," ujar Mehdi Hasan, redaktur senior di New Statesman yang pernah meliput Choudary. "Memang ada grup Islamis yang dapat mengumpulkan masa tapi dia tidak termasuk. Ia tak memiliki cukup pendukung untuk mengklaim gerakannya,. Yang ia lakukan selama ini adalah berhubungan dengan media dan 'bermain' dengannya," ujarnya.

Kini di AS, Choudary, menggunakan jurus yang serupa--membuat pernyataan gamblang bernada menyerang dan menyuarakan rencana provokatif, di mana media antusias untuk mengakomodasinya. Menurut Salon, majalah online AS, ia adalah analogi Muslim dari Terry Jones, pendeta Florida yang memercikkan kontroversi internasional tahun lalu dengan rencana "Hari Pembakaran Al Qur'an".  Terry, tulis situs online tersebut, adalah radikal tanpa dukungan publik. Namun siapa pun dia, bila mendapat cukup ruang di media maka mampu menciptakan kerusakan di dunia nyata.

Bulan lalu dalam sebuah tayangan di Fox, Sean Hannity--pembawa acara stasiun TV itu melakukan dialog dengan Choudary. Acara diakhiri dengan komentar Hannity yang menyebutnya "sakit dan menyedihkan". Lagi-lagi perlu dicatat Fox memiliki induk yang sama dengan tabloid di Inggris yang obsesif mengulas Choudary.

Dua pekan kemudian, Choudary muncul di jaringan tersebut dengan pembawa acara Gretchen Carlson yang berkata padanya, "Saya beri tahu anda satu hal, warga Amerika tidak menginginkan  hukum syariah."

Lalu host Fox yang lain, Adam Serwer juga berdebat dengan Choudary seraya berkomentar, menurut Fox, sosok Choudary adalah "badut kartun yang bisa diandalkan untuk mengonfirmasi setiap stereotip tentang Islam dan Muslim."

Ternyata bukan hanya Fox. Akhir tahun lalu, Elliot Spitzer, dari CNN mengundang Chuodary tampil dan secara heroik mencemoohnya sebagai 'teroris yang keji dan kasar'.

Lucunya, pada Februari, lagi-lagi Spitzer menjadikan Choudary bintang tamu untuk berdebat mengenai apakah revolusi di Mesir adalah "kebangkitan Islam". Tak hanya itu, Choudary juga telah beberapa kali nongol di siaran ABC yang dipandu Christiane Amanpour, dan--lagi--acara CNN dibawakan Fareed Zakaria.

Fenomena Choudary dianggap sebagai sikap kemalasan media yang tidak bertanggung jawab terhadap tema Islam. Menurut pengamat terorisme AS, Daveed Gartenstein-Ross, salah satu pelajaran dari tokoh macam Terry Jones yang hendak membakar Al Quran, adalah ketika tokoh pinggiran, benar-benar marjinal, diberi ruang besar dalam media.

"Alih-alih memadamkan, justru sikap media menguatkan pengaruh mereka," ujarnya. "Sayangnya media tidak juga belajar dari pengalaman itu, atau mereka memang tidak mau."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement