Senin 07 Feb 2011 08:27 WIB
Trending News

Muslim Tionghoa Pun Ikut Berkumpul Bersama Keluarga

Rep: Nashih Nasrullah/ Erik Purnama Putra/Yulianingsih/ Red: Johar Arif
Atraksi barongsay meramaikan perayaan imlek
Foto: Antara
Atraksi barongsay meramaikan perayaan imlek

REPUBLIKA.CO.ID,SOLO-Tradisi Imlek masih melekat di diri Rudiansyah (42 tahun). Dia merupakan Muslim keturunan Tionghoa. Sejak menjadi mualaf pada 1985, pria yang tinggal di Solo, Jawa Tengah, ini tetap melakukan kebiasaan membagi-bagi angpao kepada anggota keluarganya yang belum menikah atau lebih muda.

''Kita beri ke yang belum menikah seperti ke keponakan dan lainnya. Kalau kelebihan rezeki, kita bagi-bagi. Itu saja maknanya,'' ujar Rudi ketika ditemui Republika Ahad (6/1).

Namun bagi Rudi, Imlek bukan lagi sebuah ritual keagamaan. Karena sudah menjadi Muslim, dia juga tak pergi ke Vihara atau Klenteng, beda halnya dengan saudara-saudaranya yang masih menganut kepercayaan Konghucu. Dia mungkin menganggap Imlek tak ubahnya pergantian tahun baru masehi yang jatuh setiap 1 Januari.

Momen pergantian tahun menurut penanggalan Cina ini juga selalu dimanfaatkan oleh Rudi untuk bersilaturahmi dengan keluarganya. Tak terkecuali Tahun Baru Imlek 2562 yang baru berlalu. Acara kumpul keluarga hanya diisi dengan makan malam. ''Tapi yang kumpul itu anggota keluarga yang sudah lama tidak bertemu sehingga Imlek bisa mendekatkan keluarga,'' jelas Rudi.

Rupanya, tak hanya Rudi yang beragama Islam yang ikut merayakannya dengan bekumpul. Sanak saudaranya yang beragama Nasrani juga ikut bergabung bersama-sama dengan keluarga besar yang masih menganut Konghucu. Serupa, semua berkumpul hanya untuk makan malam dan berbagi angpao.

Rudi mengatakan, silaturahmi itu sudah menjadi tradisi yang melekat di keluarganya saat Imlek. Mereka yang lebih muda mengunjungi saudaranya yang lebih tua. Anak mendatangi orang tua. Perbedaan agama atau kepercayaan tak menghalangi mereka untuk saling bersua dan menyapa dengan ucapak selamat Tahun Baru Imlek. ''Memang sudah tradisi di keluarga untuk saling kumpul, mengucapkan selamat tahun baru,'' tutur Rudi.

Kumpul keluarga di saat Imlek juga masih dijalani Unang Angkawidjaja, Humas Masjid Cheng Hoo, Surabaya, Jawa Timur. Dia juga berupaya memenuhi undangan silaturahmi yang dilayangkan kenalannya seperti Forum Tionghoa Surabaya. Namun, tradisi berkumpul ini tak setiap tahun dijalaninya.

Menurut Unang, acara kumpul-kumpul kala Tahun Baru Imlek hanyalah bentuk penghormatan kepada sesama. ''Saya pasti hadir di acara Imlek jika diundang. Tapi, tempatnya bukan di masjid, itu yang penting,'' ujar Unang.

Sebagai mualaf, Unang lebih mementingkan ibadah kepada Allah SWT karena ini dianggap lebih bermanfaat. Awalnya, komunitas mualaf Tionghoa di Surabaya yang tergabung dalam Masjid Cheng Hoo selalu ikut memeriahkan Tahun Baru Imlek. Tapi sejak tiga tahun terakhir, Masjid Cheng Hoo tak lagi merayakannya.

Langkah Masjid Cheng Hoo meniadakan perayaan Imlek, dikatakan Unang, sebagai wujud keprihatian komunitasnya terjadap kondisi terakhir bangsa yang kerap dirundung masalah, baik oleh karena bencana alam atau kecelakaan transportasi yang bersifat massal. ''Kami menghormati keadaan masyarakat sekitar. Jadi, Imlek tak perlu dirayakan di masjid,'' jelasnya.

Porsi perayaan Imlek bagi Muslim keturunan Tionghoa tampaknya sudah jauh berkurang. Atraksi barongsai minim sekali ditampilkan oleh mereka. Yang tersisa dan paling banyak masih dilakukan tinggal berkumpul bersama keluarga besar hingga berujung di meja makan. ''Kita bersilaturahmi seperti waktu Lebaran. Hanya bedanya, kalau saat Imlek kita menerima angpao Lebaran tidak ada angpao,'' ujar Aulia Kurnia (21) yang tinggal di Jakarta.

Begitu juga dengan Ketua Umum Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Syarif Tanudjaja yang hanya mengunjungi handai tolan dan kerabat saat Imlek. Baginya, ini semata-mata untuk merajut persaudaraan dan saling mengormati. Walhasil, saling mengunjungi rumah terjadi pula saat Lebaran.

Kue keranjang

Jika kaum Muslim di Tanah Air mengenal makanan ketupat saat Lebaran, masyarakat Tionghoa ternyata juga mempunyai makanan khas sewaktu merayakan Imlek. Namanya kue keranjang. Sama seperti Lebaran dan ketupat, Imlek tanpa kue keranjang pun dianggap kurang lengkap.

Pengurus Klenteng Tien Koks Sie, Solo, Budiono Tekgianto atau disapa Atek mengatakan, kue keranjang memang sangat khas yang hanya dihadirkan saat Imlek. Bahkan, kue yang serupa dengan dodol ini tidak dihabiskan dalam tempo singkat dua atau tiga hari saja.

Di Cina, Atek menceritakan, kue yang rasanya manis ini juga dimanfaatkan sebagai simpanan makanan sepanjang musim dingin. ''Jadi kalau kesulitan cari nafkah atau hasil panen susah saat musim salju, ada kue keranjang,'' paparnya. ''Tapi, sekarang lebih banyak dijadikan sebagai panganan simbolis saja.''

Kue Keranjang dalam kondisi penyimpanan yang tidak lembab dapat bertahan hingga delapan bulan. Atek menjelaskan, kehadiran kue yang juga biasa disebut kue tahunan ini mempunyai makna. Kue menyimbolkan harapan lahirnya hubungan antarsaudara, teman, dan tetangga yang manis dan erat. ''Rasa manis dan kelengketan kue keranjang diharap bisa hadir dalam hubungan antarmanusia,'' kata Atek.

Bentuk kue yang bulat juga mempunyai arti. Herman Susanto, warga Tionghoa yang menetap di Yogyakarta, menambahkan, bulat menandakan agar keluarga yang merayakan Imlek bisa terus bersatu, rukun, dan bulat tekad menghadapi tahun baru. ''Karena itu, kue keranjang setiap tahun bentuknya tidak pernah berubah,'' ujar Manajer Rumah Makan Pelem Golek ini.

Jika dahulu kue yang umumnya berbentuk bundar ini hanya memiliki satu rasa, manis gula, kini masyarakat memadukannya dengan berbagai aroma buah. Karena itu jangan heran kue keranjang modern memiliki beragam rasa mulai dari stroberi hingga durian.

Di Solo sejak 2008, saat kirab budaya Grebeg Sudiro menyambut Tahun Baru Imlek, penyelenggara selalu membuat kue keranjang yang disusun hingga membentuk sebuah piramida kecil. Kue itu kemudian diusung atau dibawa di atas panggulan dan diperebutkan oleh warga. Tradisi yang terbilang baru ini, setahu Atek, hanya sebagai hiburan bagi masyarakat tanpa memiliki makna khusus bagi warga Tionghoa.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement