REPUBLIKA.CO.ID, Saat dua pesawat menabrak gedung WTC pada 11 September silam, Christina Rountree masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Seperti sebagian besar warga Amerika lain, ia mengaku terperangah dan marah.
"Kemudian muncul di berita bahwa itu semua dilakukan oleh Muslim. Saya pun bertanya pada teman-teman Muslim saya, 'mengapa orang-orang ini berbuat atas nama Islam. Itu agama kalian bukan?"
Christina masih ingat, teman-temannya berkata, "Mereka adalah orang-orang gila. Mereka tidak mewakili Muslim. Islam adalah agama damai."
Namun ia tidak puas dengan jawaban itu. Ia pun mulai mencari tahu sendiri tentang keyakinan tersebut. Bahkan di kampus ia bergabung dengan Asosiasi Mahasiswa Muslim.
Saat mencari tahu itulah mata Christina mulai terbuka. Selama ini rupanya Christina juga tengah mencoba menentukan seperti apa kehidupannya kelak dan ia melihat bahwa informasi tentang Islam selama ini adalah salah.
Ia pun memutuskan untuk membantu warga non Muslim di Amerika untuk memahami Islam. "Mereka mendapat informasi salah dan itu mengkhawatirkan," ungkap Christina. "Saya seorang Afro-Amerika, jadi saya tahu betul rasanya dihakimi karena tampilan anda,"
Namun awalnya Christina juga ragu bila orang-orang akan mendengarkannya. Ia pun membagi keraguan itu kepada temannya, seorang Muslim.
Sang teman berkata padanya. "Well, Christina, apakah tidak lebih keren dengan memberi contoh bagaimana seorang Muslim seharusnya, dan tidak menghabiskan waktu dengan berbicara apa yang bukan Muslim.
Saat mendengar itu, Christina merasa menemukan tombol 'klik. "Entah mengapa saya merinding mendengar itu dan saya terharu. Itu momen yang sangat emosional."
Ia pun kian dalam mempelajari Islam. Hingga akhirnya ia menyatakan meyakini kebenaran Rasul Muhammad dan semua kebaikkan yang ia lakukan. Ia menyukai gagasan terstruktur yang ditawarkan Islam dan juga fakta yang ia jumpai bahwa Al Qur'an menjawab semua yang ia butuhkan.
Pada 17 November 2006, Christina menyatakan keislamannya. Ia berikrar dengan mengucapkan syahadat, bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah rasul Allah.
Ia merasa memeluk Islam merupakan sesuatu yang diinginkan Tuhan terhadapnya. Meski, ia mengaku, itu bukan sesuatu yang diinginkan oleh ibunya.
"Ibu saya sungguh gusar, ia mengira saya melakukan ini demi seorang laki-laki, karena selama ini saya selalu dekat dengan para pria dengan tampila Timur Tengah atau Indian," tutur Christina.
"Padahal saat itu saya tidak memiliki satu teman dekat lelaki satu pun. Jadi ia tidak bisa menggunakan kartunya," katanya. Sementara sang ayah cenderung menghormati keputusannya. "Ayah berkata, lakukan apa yang membuatmu bahagia. Lakukan apa pun yang membuat kamu berpikir telah menemukan Tuhan,"
Christina mengatakan ibunya justru kini kian dekat denganya sejak ia memeluk Islam. Bahkan ibunya juga kerap ikut saat ia pergi ke masjid.
Menjadi Muslim ia pun mengalami masa sulit dan menyakitkan. Salah satunya ketika terjdi upaya pengeboman pada sebuah maskapai di Detroit saat Hari Natal yang berhasil digagalkan. Ia menilai itu kemunduran besar bagi Muslim di mana pun.
"Bukan lagi sekedar dua langkah, itu seperti ribuan langkah mundur," ujar Christina. "Pasalnya kami baru sampai pada titik di mana anda dapat berbicara tentang Islam dalam aura positif dan bukan dianggap pengkhianat ketika anda melakukan itu."
Sebuah pengalaman dalam penerbangan kian memperburuk perasaan Christina. Tak lama setelah upaya serangan oleh seorang Muslim Nigeria, ia berada dalam sebuah pesawat yang hendak lepas landas, ketika seseorang di sebelahnya mengajak berbicara tentang topik tersebut
"Ia dan juga pilot berulang kali mengatakan, 'Para Muslim tidak seharusnya di Amerika. Saya harap mereka semua mati'. Mereka terus mengatakan itu dan itu lagi," kenang Christina.
Saat itu ia langsung paham, bahwa itulah pandangan tentang Muslim yang mungkin dimiliki mayoritas warga AS. Christina pun berharap dapat menjadi penangkal pandangan itu dengan menjadi contoh nyata.
Namun ia mengakui saat itu ia memilih diam dan tidak mengatakan bahwa ia sebenarnya seorang Muslim. Ia merasa terlalu dibebani oleh obrolan tersebut.
Pengalaman itu tak membuat ia kehilangan harapan bahwa suatu saat Amerika akan melakukan seperti yang ia lakukan, mempelajari sendiri bagaimana Islam sesungguhnya.
"Padahal warga Amerika cenderung cepat bertanya tentang segala sesuatu," ujarnya. "Anehnya tidak untuk ini (Islam-red)."
Christina menyatakan ia pun masih harus belajar banyak tentang keyakinan barunya. Saat ini ia memang tidak berjilbab karena itu bukan yang ia peroleh pertama kali. Namun ia berharap dan berdoa suatu saat ia akan mengenakan.