REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Transformasi dzikir harus dimaksimalkan agar mampu menjadi kekuatan pencerah bagi upaya penyelesaian persoalan bangsa. Menurut Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nasir, dzikir dalam konteks solidaritas bangsa harus memancarkan sikap taawun atau kerjasama sesama bangsa.
"Yang perlu dibangkitkan lagi solidaritas harus punya sisi relegiusitas yang tinggi, tidak sekadar bantu kebaikan tapi juga cegah kemungkaran dan tidak melakukan kerusakan di negeri ini," kata dia saat memberikan taushiyah dalam acara Dzikir Nasional, di Masjid At-Tin, Jakarta Timur, Jumat (31/12).
Haedar menyampaikan, langkah transformasi tersebut bisa dilakukan dengan menjadikan dzikir untuk taqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah dengan ikhlas tanpa riya sekalipun. Sebab, zikir dengan makna doa adalah inti dari ibadah dengan jauhi larangan dan lakukan perintah. "Maka semakin intensif berdzikir seharusnya akan kian menjauhkan manusia dari tindak maksiat," kata dia.
Haedar menambahkan, transformasi dapat dilakukan dengan proses ihtisab atau intropeksi. Hakikatnya, sehebat apapun jabatan dan kekuasaan sesungguhnya kecil di hadapan Allah. Dengan berdzikir pula akan menghadirkan muraqabah atau menghadirkan Allah dalam hidup sehari-hari.
Namun diakui, potensi yang ada dalam dzikir kurang dipahami bahkan oleh umat Islam sendiri. Disinilah dibutuhkan langkah dakwah dan menyampaikan kebenaran terhadap mereka dengan cara arif dan bijak. "Tentu dengan cara hikmah, kenapa? manusiawi, seburuk-buruk orang ada sisi kebaikan, siapa tahu jika disentuh dengan hikmah akan kembali sadar," ungkap dia.