REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK--Masalah gender tanah air tidak pernah beranjak dari persoalan kesetaraan. Belum lagi, bias gender dalam teks keagamaan di Indonesia yang turut menyulitkan usaha menghapus perbedaan kesetaraan gender. Karena itu, peran ulama perempuan menjadi solusi konkret.
"Faktanya Indonesia membutuhkan ulama perempuan yang handal dan memiliki chemsitry yang mantap dalam mereintrepretasi teks-teks keagamaan yang responsif gender dan ramah anak," papar Hertomo Heroe, Deputi Bidang Pengarusutamaan Gender Bidang Ekonomi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan perlindungan Anak Republik Indonesia saat membuka Seminar Nasional Bertajuk Masa Depan Kepemimpinan Ulama Perempuan yang berlangsung di Depok, Selasa (23/11).
Heroe menuturkan untuk memantapkan peningkatan kompetensi ulama perempuan ke depan, setidaknya harus menempuh sejumlah poin penting seperti memetakan potensi, hambatan, tantangan, dan peluang di Indonesia dalam kerangka kehidupan yang multikultur. Langkah kedua, perlu adanya perumusan alternatif intervensi regenerasi ulama perempuan sesuai dengan kearifan daerah.
Langkah selanjutnya, kata dia, melakukan pendekatan terhadap masyarakat ihwal keberadaan perempuan. "Kaderisasi ulama merupakan hal yang sangat penting agar perempuan berkembang dan lebih berkualitas," kata dia.
Dia mengakui setiap langkah tentu mendapat hambatan berupa garis takdir ulama yang identik dengan laki-laki. Sterotipe ini, kata Heroe, memang merujuk pada anggapan agama sebagai otoritas kaum lelaki. "Ada dua faktor, pertama budaya di mana perempuan tidak layak menjadi pembaharu dalam implementasi fikih. Kedua, sterotipe perempuan tidak memiliki kemampuan yang sesuai," paparnya.
Sebabnya, kata Heroe, masalah ini harus disikapi bersama. Pemerintah sebagai pengambil kebijakan tentu mengharapkan partisipasi organisasi sosial keagamaan, tokoh agama, dan ulama perempuan guna menjadi energi positif dalam usaha penyelesasian beragam masalah bangsa. "Tentu ini harapan kita semua," ujarnya.