Kamis 04 Nov 2010 04:17 WIB

Khuda Kay Liye, Dialektika Islam di Mata Sineas Pakistan

Rep: mohammad akbar/ Red: Krisman Purwoko
Khuda Kay Liye
Khuda Kay Liye

REPUBLIKA.CO.ID,Seperti apakah Islam di Pakistan? Adakah radikalisme itu menjadi pembenaran buat melakukan jihad? Lantas seperti apakah Islam memandang musik dan gaya berpakaian dalam keseharian?

Semua pertanyaan itu menjadi benang merah dari film asal Pakistan Khuda Kay Liye (In the Name of God) karya Shoaib Mansoor. Film yang akan beredar di bioskop nasional mulai 4 November ini meramu berbagai persoalan tentang Islam dan buntut dari aksi teror 11 September di menara kembar World Trade Centre (WTC) Amerika Serikat.

Meski isi ceritanya terkesan 'menggurui', namun film berdurasi hampir tiga jam ini mampu memberikan sebuah pencerahan dalam melihat Islam. Setidaknya, film ini bisa menjadi bentuk solusi bagi Barat dalam memandang Islam.

Dan menjadi lebih penting lagi, film ini menjadi sebuah lompatan besar buat industri perfilman Pakistan. Negara yang berbatasan dengan India ini secara kuantitas maupun teknologi boleh jadi masih tertinggal jauh oleh geliat industri Bollywood. Namun di tengah keterbatasan, film yang menjadi debut karya Shoaib ini telah cukup cerdas memberi pencerahan tentang Islam dan berbagai persoalan yang mengungkungnya.

Film ini memusatkan ceritanya pada tokoh kakak beradik, Mansoor (dimainkan oleh Shaan) dan Sarmad (Fawad Khan). Turut mendukung cerita ada Mary (Iman Ali), perempuan Pakistan berkewarganegaraan Inggris; dua ulama besar Pakistan -- Kyai Maulana Tahiri (Rasheed Naz) dan Kyai Maulana Wali (Naseeruddin Shah) -- serta Dave (Alex Edwards).

Kisah dari film ini dimulai dari kesedihan seorang perempuan bule di Chicago pada musim gugur 2002. Tak lama, film pun melompat mundur ke masa dua tahun sebelumnya. Sebuah gladi resik pertunjukkan musik tengah dipersiapkan untuk menyambut pergantian tahun 2000.

Mansoor dan Sarmad -- dua musisi kakak beradik -- tengah berlatih mempersiapkan diri. Tanpa disangka, persiapan itu berantakan karena diserang sekelompok pria berpakaian putih. Mereka merusak panggung dan melarang pertunjukkan tersebut.

Lalu cerita terus mengalir. Mansoor mengalami pergolakan hidup. Pertemuannya dengan kiai Maulana Tahiri mengubah pemahamannya tentang Islam. Ia memutuskan diri meninggalkan dunia musik. Ia juga mengubah penampilannya dengan memelihara jenggot serta mengenakan baju gamis.

Sebaliknya, Sarmad -- kakak dari Mansoor, melanjutkan kegemarannya terhadap musik. Ia terbang ke Amerika Serikat untuk mendalami pengetahuannya tentang musik. Dua kehidupan dari kakak beradik itu mulai menorehkan ceritanya.

Di sini, penonton harus menunggu sabar untuk menantikan hadirnya konflik dari film ini. Konflik itu lahir setelah terjadi penyerangan menara kembar WTC di Amerika. Negeri Paman Sam menjadi membabi buta dalam memerangi terorisme.

Sarmad yang baru saja melangsungkan pernikahan dengan seorang perempuan bule harus diciduk saat tertidur lelap. Ia dituduh terkait dengan kelompok Usamah bin Ladin. Dasar penangkapannya karena ditemukan semacam jimat yang biasa dijadikan kalung.

Jimat itu berbahasa Arab. Namun karena jimat itu ada memiliki tulisan menyerupai angka 9 dan 11 maka ditahanlah Sarmad tanpa melalui proses peradilan.

Sebaliknya, Mansoor juga harus menjalani pengasingan diri ke sebuah perkampungan tandus. Ia mengikuti titah sang guru dan pamannya untuk menikahi Mary. Mary sendiri sebenarnya telah memiliki pilihan hati saat tinggal di Inggris. Lelaki itu bernama Dave.

Pernikahan dilakukan secara paksa. Di tempat tandus itu, Mansoor juga berlatih perang. Pascaledakan WTC, ia 'terjebak' pada jihad dalam perang saudara. Ia tak setuju untuk membunuh. Tetapi ia terpaksa membunuh ketika nyawanya terancam. Namun ia menjadi galau karena pria yang dibunuhnya sebelum menghembuskan napas juga melafalkan dua kalimat syahadat.

Persoalan kian pelik. Terutama setelah Mary berhasil dibebaskan dari tempat pengasingannya yang tandus. Proses peradilan berjalan. Di sinilah dialog-dialog bernas terlahir. Sekaligus juga dalam persidangan ini dijabarkan bagaimana Islam memandang jihad, musik maupun gaya berpakaian yang disampaikan lewat sosok kiai Maulana Wali.

Di penghujung kisah, Shoaib ternyata cukup cerdas melemparkan otokritiknya dalam melihat pergulatan pemikiran yang sampai kini masih mengungkung umat muslim dunia. Ia menghadirkan Mansoor dengan berpakaian kasual. Saat ia melafazkan azan, kiai Maulana Tahiri menyuruh anak didiknya untuk mengambil mikropon. Dua pemuda muslim sama-sama melafazkan azan.

Namun lantunan yang sejatinya terasa merdu justru melahirkan alunan yang telah membuat burung-burung menjauhi masjid. Ah, sebuah metafora yang cukup apik dalam memotret persoalan Islam masa kini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement