REPUBLIKA.CO.ID,BEKASI--Jalanan identik dengan dunia yang keras dan kasar. Sebagian masayarakat tidak jarang memberi pandangan miring pada anak jalanan. Namun, mereka juga manusia biasa yang memiliki kerinduan pada Ilahi. Berawal dari kesadaran itu, Komunitas Penyanyi jalanan (KPJ) merancang program yang bersifat religius bagi anak jalanan.
Anggota Dewan KPJ, Ane Matahari, mengatakan, program religius rencananya berupa pesantren jalanan. Selama ini KPJ melakukan penanaman pemahaman agama kepada anak jalanan melalui saluran kreatifitas berkarya.
Kekaguman pada Ilahi diselipkan melalui karya-karya. Itu saja dianggap tidak cukup. Anak jalanan juga memiliki kebutuhan untuk memahami fikih dan akidah. "Kita kan punya keterbatasan di wilayah itu," kata Matahari. Ia menambahkan bahwa kesadaran religius sudah tumbuh di kalangan anak jalanan, hanya saja belum digarap maksimal.
Beruntung ada usulan mendirikan pesantren bagi anak jalanan dari KH Muhammad Iskandar, Ketua Pondok Pesantren Asshidiqiyah Jakarta. Sontak tawaran itu disambut gembira. Sabtu (30/10).
Dampak program ini tidak bisa dilihat dalam sehari dua hari. "Bangunan saja kita belum punya," ujarnya.
Selama enam bulan pertama, rencananya pesantren jalanan masih pada tahap persiapan. Hal itu dilakukan melalui pemberian pemahaman kepada anak jalanan agar batin mereka siap. Pertama-tama akan dilakukan pendekatan kepada orang-orang yang dituakan di tempat berkumpul anak jalanan.
Terdapat tujuh titik berkumpul anak jalanan di Kota Bekasi yang menjadi target pesantren jalanan, yaitu, Setia Kawan, Bulak Kapal, Tol Timur Kota Bekasi, Tol Barat Kota Bekasi, Terminal Kota Bekasi, Rawa Panjang, Universitas Islam Empat Lima.
Pesantren jalanan diharapkan menjadi alternatif pendekatan yang efektif merubah pola pikir anak jalanan. Karena pendekatan yang ada saat ini dinilai tidak terlalu berhasil. Matahari mencontohkan rumah singgah yang jarang melibatkan orang-orang yang akrab dengan dunia jalanan.
Rumah singgah cenderung terpaku pada bangunan fisik. Padahal karakter anak jalanan sangat berbeda dengan anak-anak kebanyakan. Sehingga tidak bisa diberi perlakuan yang menggeneralisir mereka.
Mereka yang menangani anak jalanan, lanjut Matahari, juga memerlukan daya tahan. Hal itu yang tidak terlihat dari sebagian besar pengelola rumah singgah. "Umumnya mereka hanya menguasai psikologi sosial," ujar Matahari.
Kenyataan di lapangan, teori dan praktik sangat berebeda. Tidak jarang rumah singgah menghadirkan kekerasan fisik bagi anak jalanan yang dilakukan justru oleh pengelola. Menurut Matahari, kurangnya kesabaran menyebabkan tidak jarang rumah singgah justru menghadirkan kekerasan fisik bagi anak jalanan yang dilakukan oleh pengelola.
Pesantren jalanan akan menekankan pada pembinaan anak jalanan ketimbang pesantren sebagai bangunan. Tujuan pesantren jalanan, kata Matahari, membantu anak jalanan agar mampu menata kehidupan lebih baik lagi melalui pendidikan spiritual. Dengan demikian para anak jalanan akan mendapat penerimaan dari keluarga dan masyarakat.