REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM--Umat Islam tidak terbiasa hidup tertantang untuk memeras otak memutar aset ekonomi yang ada. Etos wiraswasta atau wirausaha umat islam memang masih lemah. Ini ditegaskan Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Prof Dr H Abdul Djamil, MA pada Rangkaian Dialog Pengembangan Wawasan Multikultural antar Pemuka Agama Islam Pusat dan Daerah, bertajuk "Merajut Mozaik Keragaman Melalui Pengembangan Potensi Ekonomi Keumatan" di Mataram, NTB, Selasa (5/10).
''Bagi sebagian mereka dunia enterpreneurship dianggap mepunyai resiko kerugian, sehingga mereka enggan untuk berkecimpung di dalamnya. Sebagian umat Islam juga menghadapi dilema sikap kehidupan. Faham Jabariyah atau pasrah masih menghinggapi sebagian kita. Sehingga menghasilkan the culture of provert,'' papar Abdul Djamil. Selain itu, dalam hal manajemen menurutnya, harus diakui bahwa dalam berbagai bidang, manajemen umat Islam terkesan masih belum modern.
Padahal menurutnya, umat Islam memiliki organisasi massa besar, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama serta ormas-ormas Islam lainnya. ''Lembaga-lembaga ini tentu merupakan aset yang sangat berharga bagi pengembangan ekonomi umat. Namun setidaknya beberapa tahun lamanya, sektor ekonomi belum tergarap secara optimal oleh sebagian ormas Islam ini.
Kegiatan yang dibuka oleh Gubernur NTB, Tuan Guru HM Zainul Majdi, MA tersebut diikuti antara lain oleh Ketua Muslimat NU, Khofifah Indar Parawansa, Pengurus Besar Nahdlatul Wathon Tuan Guru H Suaidi, Ketua DPP Dewan masjid Indonesia Natsir Zubaedi, Ketua FPI Habib Muhsin Ahmad Al-Attas, dan Ketua Pembina Iman Tauhid Islam (PITI) Anda Hakim. Juga hadir Sekretaris PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti serta Prof Dr H Moh Baharun pimpinan Persatuan Tarbiyah Islamiyah.