REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK--Dunia barat meradang. Begitulah tulisan jurnalis veteran AS dan Kolumnis Tom Plate seperti yang dimuat dalam The Korean Times, Jumat (20/8). Menurut dia, ada tiga agenda penting yang kini harus dihadap dunia barat. Pertama, membina hubungan internasional, geliat China dan menata hubungan yang rumit dengan dunia Islam.
Khusus yang terakhir, Plate memprediksi dunia barat bakal mengalami kesulitan. Ia mengutip pernyataan salah seorang guru besar di Havard, Samuel Phillips Hutington, yang mengatakan jauh hari--lewat bukunya Clash of Civilizaton, 1993--bahwa hubungan dua peradaban itu mengalami benturan keras.
Plate juga mengatakan sensitifitas masyarakat dari dua sisi terhadap Islam yang meyakini keberadaan terorisme entah yang bersembunyi di Pakistan atau Oklahoma. "Mereka ada namun tidak bisa dihilangkan. Apakah ini merupakan bentuk kesalahpahaman dan prasangka kita sendiri (dunia barat) ketika berhadapan dengan komunitas muslim di seluruh dunia, komunitas berjumlah satu milyar jiwa yang tidak bersalah tapi juga memiliki arti penting," paparnya.
Plate menilai jika setiap muslim merupakan ekstrimis, dunia barat tentu seharusnya mengatakan umat kristiani adalah tentara salib dan semua warga Protestan adalah Kristen garis keras. Demi mengerti kompleksitas dan menghadapi tantangan berbeda, menurut dia, penting bagi pemimpin dunia barat untuk menghindari hasutan dan merangkul kemanusiaan tanpa kecuali.
"Sedikit hal menakjubkan dapat memberikan contoh yang tidak ternilai bagi banyak orang," kata Plate.Baru-baru ini, lanjut Plate, dua orang penting di New York City telah menunjukan contoh tersebut. Dia menilai keduanya sebagai sosok yang memberikan kesempatan pada semua warga New York dan dunia barat untuk berintropeksi diri bagaimana cara keduanya menjalin hubungan dengan dunia Islam. "Meski akhirnya kebijakan keduanya memicu kontroversi. Walikota Bloomberg terlihat sangat terhormat," ujarnya.
Plate menilai Bloomberg berani memberikan kesempatan emas pada oposisi untuk mengkritiknya sekaligus menaikan popularitasnya dimata oposisi. Namun, bagi prinsip toleransi AS, Bloomberg secara tegas menolak mengasingkan banyak warga muslim dengan cara emosional.
"Pembangunan masjid tidaklah berbahaya, dan eksistensi masjid akan menaikan suara keras tentang kebenaran masyarakat AS yang kenal dengan toleransi. Jarak antara bekas menara kembar dengan masjid hanya beberapa blok, namun di Mahantan, beberapa blok adalah hutan beton dan baja. Dengan jarak seperti itu tidak akan mengusik monumen tragedi 9/11," paparnya.
Plate juga memuji sensitivitas PBB melalui Sekjennya Ban Kin Moon. Menurut dia, Ban merupakan seorang pekerja keras, berkeliling dunia sebagai diplomat. "Dia merupakan satu orang yang menolak tudingan bahwa PBB tak efisien," katanya.
Sebagai bukti, lanjutnya, ketika muslim Pakistan mengalami banjir, Ban segera mempersingkat liburan untuk segera terbang ke daerah yang dilanda banjir. Menurut Plate, perjalanan itu tidaklah mudah, putusan perjalanan dibuat terlambat sehingga sulit menemukan penerbangan komersial. "Tidak seperti presiden AS dan pemimpin negara lain, Ban tidak memiliki pesawat pribadi," ungkapnya.
Namun, lanjut Plate menjelaskan, mantan menteri Luar Negeri Korea Selatan itu, dengan bermodalkan jas hujan, sepatu boot, air minum sembari membawa bendera PBB, menunjukan kepeduliannya terhadap negara Islam berpenduduk 170 juta jiwa ini. Usai meninjau dan memberikan bantuan langsung ke Pakistan, Ban segera mengadakan penggalangan donor di New York.
"Apa yang dilakukan Ban sangat jelas dan menganggumkan. Jika kita tidak peduli tentang orang lain ketika mereka sakit parah,berarti kita mengorbankan sisi kemanusiaan kita," kata dia. "Bisa jadi, pembangunan masjid dibatalkan dan pemulihan bencana di Pakistan berjalan lambat. Tapi Ban dan Bloomberg telah memberikan yang terbaik. Dikala hubungan yang begitu rumit dengan dunia Islam, usaha keduanya perlu dicatat, diberikan tepuk tangan dan ditiru."