REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK--Seorang wanita menunggu di peron kereta bawah tanah, kepala menunduk, pura-pura mengabaikan penghinaan. Di bangku yang sama, sekelompok teman-teman mendengarkan lelucon rasis, cekikikan. Di bagian lain, seorang pemuda menunggu dengan penuh harap hasil wawancara kerja.
Semua adegan yang dijalin bersama dengan sebuah benang merah: apa artinya menjadi Muslim di New York, sembilan tahun setelah peristiwa 11 September 2001. Seluruh cerita dikemas dalam satu wujud pertunjukan seni teatrikal.
Pertunjukan, yang telah dipentaskan di gereja-gereja, sekolah, dan pusat-pusat komunitas lebih dari selusin kali di seluruh kota, diberi judul Under the Veil: Being Muslim (and Non- Muslim) in America, post 9/11. Pertunjukan ini digagas oleh sebuah gerakan bernama TE'A Project, sebuahusaha kolaboratif yang menggabungkan kekuatan narasi, teater, dan dialog yang difasilitasi dalam upaya untuk menciptakan pemahaman bersama tentang sebuah perubahan sosial.
TE'A, yang berarti Teater, Engagement, dan Aksi, adalah gagasan Radha Kramer, seorang wanita tak kenal lelah yang matanya bersinar ketika ia berbicara tentang filosofi di balik proyek itu. Semua didasarkan pada Pendekatan Insight, teori milik filsuf-teolog Bernard Lonergan.
Di dalamnya, kata Kramer, berisi teknik-teknik resolusi konflik: bahwa dengan mencapai wawasan tentang pengalaman orang lain, kita dapat belajar untuk berempati. "Dengan demikian menciptakan kesempatan untuk menjalin hubungan satu sama lain yang melampaui batas-batas sosial dan budaya," katanya.
Menurutnya, wawasan yang terbuka adalah kunci segalanya. "Sekali Anda memiliki wawasan dalam diri Anda, atau orang lain, Anda selamanya berubah," ujarnya.
Pertunjukan Under The Veil, katanya, adalah puncak dari proses panjang yang melibatkan banyak stakeholder. Proses TE'A dimulai dengan mengumpulkan sekelompok seniman bersama untuk mendiskusikan isu-isu sosial yang paling penting bagi mereka. Ketika sebuah konsensus tentang satu topik tercapai, mereka masuk ke komunitas mereka untuk berbicara dengan orang tentang pikiran mereka dan pengalaman dengan masalah ini.
Setelah beberapa bulan dan lusinan wawancara dan diskusi, para seniman berkumpul untuk membuat kinerja teater mewakili suara orang-orang yang mereka ajak bicara itu.
Hasilnya, lahirlah pertunjukan itu. "Ketika Anda memiliki wawasan yang signifikan, seperti 'oh, wanita yang mengenakan jilbab di sana bahwa tidak mungkin orang yang telah saya diasumsikan sebelumnya,' itu membuka dunia baru dari rasa ingin tahu: siapa dia?" ujarnya.
Produksi TE'A pertama kali disajikan pada Mei 2009. Topik menjadi Muslim di New York pasca Tragedi 11 September dipilih dengan suara bulat oleh anggota TE'A.
"Tidak ada orang yang membicarakannya," kata Kramer. "Tidak ada yang meminta Muslim di New York untuk menceritakan, misalnya, 'Apa yang terjadi pada Anda setelah tragedi itu? Bagaimana perasaan Anda? Keputusan Apa yang telah Anda dibuat sejak 9/11? Dan sebagainya."
Yang cukup menarik, tidak ada satupun dari lima penggagas TE'A Project yang beragama Islam. Namun kata Kramer, di sisi hati yang paling dalam, mereka tak rela Muslim diperlakukan tidak adil dan fobia terhadap Islam seolah "dibudayakan".
"Itulah keindahan seni dan teater," jelasnya. "Kita bisa menceritakan kisah satu sama lain," katanya. "Jika orang Yahudi hanya bisa menceritakan kisah-kisah Yahudi, dan hanya Afrika-Amerika bisa menceritakan Afrika-Amerika, maka di mana kita? Inilah saatnya Amerika membuka mata, telinga, dan hati, dan mengatakan 'saya peduli cerita Anda'. Dan bukan hanya cerita Anda; itu cerita kita."
Kramer mendesak masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses dialog berbagi tentang isu-isu sensitif. "Kita hidup di dunia yang sama," katanya. "Kenapa kita tidak saling peduli dan berbagi?"