REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Namanya sudah begitu melegenda. Tak hanya di tanah kelahirannya, Turki, sufi yang terkenal karena lelucon dan anekdotnya ini juga kondang di daratan Asia Tengah, Eropa Timur, bahkan hingga Cina.
Lelucon atau anekdotnya masih banyak ditampilkan di banyak film, buku, atau pun cerita hingga sampai sekarang. Bahkan, UNICEF pun sudah mengakui kebesaran dirinya sehingga pernah membuat tahun khusus bagi sang sufi. Lahir di Desa Hortu Sivrihisar, Eskisehir pada abad ke 13, mungkin pada 1209 masehi, awalnya ia tinggal di Anatolia, sebelum akhirnya menetap di Konya.
Dia hidup di masa kekhalifahan Islam hingga penaklukkan Bangsa Mongol di masa Dinasti Timur Lenk. Sejak muda, ia memang sudah dikenal bijak, tapi suka membuat ulah dan konyol sehingga mengundang tawa. Dia juga pandai menarik perhatian teman-temannya sehingga sering lalai mengikuti pelajaran di sekolah. Sewaktu di sekolah, gurunya pernah bernubuwat, ''Kelak, ketika engkau sudah dewasa, engkau akan menjadi orang yang bijak. Tetapi, sebijak apa pun kata-katamu, orang-orang akan menertawaimu.''
Kisah Nasruddin sudah seperti cerita Abu Nawas yang terkenal melintasi batas negara dan waktu. Cerita mengenai Nasrudin bahkan seakan telah berubah menjadi cerita rakyat yang tak jarang disesuaikan dengan konteks lokal. Tak heran bila dia banyak mendapatkan sebutan di negara yang berbeda seperti Hodja, Mullah, atau Effendi
Cerita Nasrudin sering muncul sebagai karakter 'aneh' mulai dari Albania, Arab, Armenia, Azerbaijan , Bengali, Bosnia, Bulgaria, Yunani, Cina, Rusia, India, Persia, Rumania, Serbia, sampai Italia. Dia juga sangat populer di Yunani karena kebijaksanaan dan keputusannya saat menjadi kadi atau hakim. Untuk mengenang kebesarannya, di tanah kelahirannya, setiap tahun digelar 'International Nasreddin Hodja Festival' antara 5-10 Juli.
Berikut tiga buah cerita mengenai dirinya:
Mimpi religius
Nasrudin sedang dalam perjalanan dengan seorang pastur dan yogi. Pada hari kesekian, bekal mereka habis dan tinggal sepotong kecil roti. Masing-masing merasa berhak memakan roti itu. Setelah debat seru, akhirnya mereka bersepakat memberikan roti itu kepada yang malam itu memperoleh mimpi paling relijius. Maka tidurlah mereka.
Pagi harinya, saat bangun, pastur bercerita: "Aku bermimpi melihat kristus membuat tanda salib. Itu adalah tanda yang istimewa sekali."
Yogi menukas, "Itu memang istimewa. Tapi aku bermimpi melakukan perjalanan ke nirwana, dan menemui tempat paling damai."
Kemudian Nasrudin berkata, "Aku bermimpi sedang kelaparan di tengah gurun, dan tampak bayangan nabi Khidir bersabda 'Kalau engkau lapar, makanlah roti itu.' Jadi aku langsung bangun dan memakan roti itu saat itu juga."
Bersembunyi
Suatu malam seorang pencuri memasuki rumah Nasrudin. Kabetulan Nasrudin melihatnya. Karena ia sedang sendirian saja, Nasrudin cepat-cepat bersembunyi di dalam peti. Sementara itu pencuri memulai aksi menggerayangi rumah.
Sekian lama kemudian, pencuri belum menemukan sesuatu yang berharga. Hingga akhirnya ia membuka peti besar, dan memergoki Nasrudin yang bersembunyi. "Aha!" kata si pencuri, "Apa yang sedang kau lakukan di sini?"
"Aku malu, karena aku tidak memiliki apa-apa yang bisa kau ambil. Itulah sebabnya aku bersembunyi di sini."
Keledai membaca
Timur Lenk menghadiahi Nasrudin seekor keledai. Nasrudin menerimanya dengan senang hati. Tetapi Timur Lenk meminta, "Ajari keledai itu membaca. Dalam dua minggu, datanglah kembali ke mari, dan kita lihat hasilnya."
Nasrudin berlalu, dan dua minggu kemudian ia kembali ke istana. Tanpa banyak bicara, Timur Lenk menunjuk ke sebuah buku besar. Nasrudin menggiring keledainya ke buku itu, dan membuka sampulnya.
Si keledai menatap buku itu, dan tak lama mulai membalik halamannya dengan lidahnya. Terus menerus, dibaliknya setiap halaman sampai ke halaman akhir. Setelah itu si keledai menatap Nasrudin. ''Demikianlah," kata Nasrudin, "Keledaiku sudah bisa membaca."
Timur Lenk mulai menginterogasi, "Bagaimana caramu mengajari dia membaca ?"
Nasrudin berkisah, "Sesampainya di rumah, aku siapkan lembaran-lembaran besar mirip buku, dan aku sisipkan biji-biji gandum di dalamnya. Keledai itu harus belajar membalik-balik halam untuk bisa makan biji-biji gandum itu, sampai ia terlatih betul untuk membalik-balik halaman buku dengan benar."
"Tapi," tukas Timur Lenk tidak puas, "Bukankah ia tidak mengerti apa yang dibacanya ?"
Nasrudin menjawab, "Memang demikianlah cara keledai membaca: hanya membalik-balik halaman tanpa mengerti isinya. Kalau kita membuka-buka buku tanpa mengerti isinya, kita disebut setolol keledai, bukan?"