REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA--Sejak sebelas tahun terakhir ini di Indonesia muncul gerakan radikal atau setengah radikal yang berbaju Islam yang antidemokrasi dan antipluralisme. Di antaranya Majelis Mujahidin Indonesia, Front Pembela Islam, dan Hizbut Tahrir Indonesia.
''Mereka hanya bergaul dengan kelompoknya sendiri. Padahal kalau pergaulan hanya dengan kelompoknya sendiri, itu itu saja mengerdilkan kemanusiaan,''ujar mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Syafi’i Ma’arif dalam diskusi buku karyanya 'Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita', di Kantor PP Muhammadiyah yang diselenggarakan Lembaga Studi Islam dan Politik yang diselenggarakan menyambut Muktamar Satu Abad Muhammadiyah, Kamis (1/7).
Karena itu, kata Syafi'i, umat Islam perlu lebih terbuka terhadap perbedaan-perbedaan yang terdapat di kelompok-kelompok lain. Keterbukaan akan terbentuk dari pergaulan dengan berbagai kelompok lain. Oleh sebab itu, generasi muda Islam perlu didorong menjalin pergaulan seluas-luasnya.
Anak-anak muda, kata Syafi'i, jangan hanya bergelut di organisasinya sendiri, tapi harus bergaul dengan berbagai kelompok lain. Dengan pergaulan yang luas, umat Islam diharap dapat lebih menghargai dan menghormati kebenaran yang diyakini oleh kelompok lain serta memberi kesempatan pada kelompok lain untuk meyakini kebenaran yang dipercayainya.
Hadir pula dalam diskusi Direktur Program Paramadina Ihsan Ali Fauzi, Direktur Program Studi Pascasarjana S3 Bidang Agama dan Lintas Budaya (CRCS) Universitas Gadjah Mada Zainal Abidin Bagir, dan Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Zully Qodir.
Zainal Abidin Bagir mengatakan sebagai negara pluralis, Indonesia perlu memberikan perlindungan serta pengakuan seluas-luasnya terhadap kelompok-kelompok yang berbeda di masyarakat. Untuk itu, negara seharusnya bertindak tegas terhadap pelaku kekerasan yang mengatasnamakan agama.