Kamis 17 Jun 2010 23:24 WIB

Ditolak Kembali ke AS, Seorang Muslim Amerika Telantar di Mesir

Seorang muslim Amerika keturunan Somalia, Yahya Wehelie yang terperangkap di Kairo, Mesir setelah masuk daftar yang dilarang terbang AS.
Foto: AP
Seorang muslim Amerika keturunan Somalia, Yahya Wehelie yang terperangkap di Kairo, Mesir setelah masuk daftar yang dilarang terbang AS.

REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO--Seorang pria muslim asal Virginia, Amerika Serikat (AS) telantar di Mesir selama enam minggu. Yahya Wehelie yang lahir di Fairfax, Virginia yang keturunan Somalia itu bertahan tinggal di hotel murah dan terpaksa mengonsumsi makanan siap saji, setelah namanya tercantum dalam daftar warga AS yang dilarang menaiki pesawat karena perjalanannya ke Yaman.

Pria berusia 26 tahun tersebut mengatakan, dia tinggal di Yaman selama 18 bulan untuk belajar dan pergi untuk kembali ke AS pada awal Mei.

Pemerintah AS memang meneliti lebih lanjut para warganya yang belajar di Yaman, setelah adanya insiden yang melibatkan seorang pria yang dikaitkan dengan Al-Qaidah yang diduga memiliki cabang di Yaman, yang berusaha meledakkan pesawat AS pada hari Natal tahun 2009.

Yahya kembali ke AS bersama dengan saudaranya, Yusuf melalui Mesir pada tanggal 5 Mei, ketika pejabat Mesir menghentikannya ketika memasuki pesawat yang bertujuan ke New York. Mereka mengatakan, agen khusus AS yaitu FBI ingin berbicara dengannya.

Kemudian, Yahya diberitahu oleh agen FBI yang berada di Mesir mengenai alasannya masuk ke dalam daftar tersebut, karena beberapa orang yang ditemuinya selama di Yaman dan dia tidak boleh masuk penerbangan ke AS atau memasuki kawasan udara AS.

Paspor Yahya kemudian dibatalkan dan kemudian diterbitkan paspor baru hanya untuk penerbangan ke AS yang akan kadaluarsa pada September 2012. Padahal, Yahya juga tidak memiliki kewarganegaraan Somlia.

Yahya menuturkan, saudaranya kemudian diperbolehkan pulang, dengan syarat harus ditahan selama tiga hari oleh pihak kepolisian Mesir dengan tuduhan dicurigai membawa senjata tajam.

Dia mengatakan, saudaranya didesak hingga ke dinding penjara dan diinterogasi oleh seorang pria yang mengaku sebagai agen CIA. Kemudian, dia dilemparkan ke jalanan di luar penjara karena dituduh berpura-pura sakit.

Yahya mengaku, dia sama sekali tidak berhubungan dengan organisasi teroris di Yaman dan tidak menganggap dirinya sebagai seorang muslim yang taat. Dia menuturkan, dia belajar bidang teknologi informasi di Lebanese International University di ibukota San'a dan hanya berkunjung satu kali ke mesjid selama itu. Dia juga mengaku, mempelajari hanya sediki bahasa Arab.

"Sangat mengejutkan melihat pemerintah AS dapat melakukan hal semacam ini," ujarnya kepara reporter Associated Press dari sebuah hotel kumuh di pusat kota Kairo.

"Saya tidak keberatan dengan usaha AS untuk memerangi terorisme. Sama sekali tidak keberatan. Saya suka itu, lebih banyak kekuatan untuk mereka," ujarnya dengan aksen Amerika yang kental, mengenakan celana pendek ala pemain basket dan kaos berwarna putih.

"Rumah saya adalah Amerika dan saya tidak mengerti mengapa saya tidak boleh kembali kesana," ujarnya sambil menambahkan dia meminta FBI untuk menempatkannya di sebuah pesawat yang penuh dengan petugas kepolisian dengan tangan diborgol. "Yang penting, bawa saya kembali pulang," katanya.

Selama di Yaman, Yahya menikah dengan seorang wanita asal Somalia yang hubungan kekerabatannya dekat dengan keluarganya. Istrinya tetap berada di Yaman dan berniat untuk menyusulnya setelah ia sampai ke rumah.

Keluarga Yahya mengaku putra mereka tidak pernah dianiaya secara fisik namun mengalami tekanan psikologis dan akses kepada seorang pengacara Amerika yang disewa untuknya kemudian ditolak.

Ketika Yahya bertanya kepada agen FBI bagaimana dia dapat kembali ke AS, dijawab dengan kalimat, bagaimana "Columbus berlayar di laut biru", mungkin menyarankannya untuk mengambil rute laut.

Juru Bicara FBI, Paul Bresson mengatakan, biro itu tidak memiliki komentar pada orang tertentu yang termasuk dalam daftar pengawasan. Paul Bresson tidak berkomentar mengenai Yahya Wehelie, namun dia menuturkan beberapa profil yang dicurigai merencanakan teror termasuk rencana peledakan bom mobil dan pesawat di hari Natal, sebagai pengingat pentingnya bersikap waspada.

Pejabat Mesir mengonfirmasi, seorang warga Amerika keturunan Somalia yang terperangkap di Kairo, menunggu namanya untuk dicabut dari daftar yang dilarang memasuki penerbangan.

Yayha mengaku, pihak kedutaan AS di Mesir kini membayarnya sekitar 16 dolar AS per malam di hotel yang nantinya harus dibayar oleh Yahya, dan memberinya kupon makan di rumah makan cepat saji milik AS. "Saya makan apapun yang mereka miliki selama dua minggu. Sekarang, saya tidak dapat masuk kesana," ujarnya.

Dia mengaku, konsumsi makanan cepat saji membuat tubuhnya tidak sehat dan kini dia memilih makan pizza.

Warga Muslim

Pada sebuah konferensi pers, Rabu (16/6) di Washington yang dilakukan oleh kelompok hak asasi muslim, ibu Yahya Wehelie yaitu Shamsa Noor mengatakan, dia mengirim anaknya ke Yaman untuk belajar bahasa Arab dan memiliki pegangan untuk hidup. Kini dia menyesal karena keputusan itu.

"Hal itu sangat membuat putus asa. Saya merasa sangat bersalah karena saya yang mengirimnya ke sana," ujar Shamsa Noor.

Keluarga tersebut mengaku, Yaman menjadi pilihan mereka karena pendidikan tak terlalu mahal dan banyak keluarga asal Somalia yang tinggal disana.

Saudara Yayha yang berhasil pulang, Yusuf juga berbicara pada kesempatan itu. "Yang terjadi pada saya adalah salah dan saya ingin memastikan tak ada warga Amerika lain yang mengalaminya," ujarnya.

Pejabat dari Council on American-Islamic Relations (CAIR) yang mengadakan konfrensi pers tersebut mengatakan, mereka mengetahui minimal dua kasus lain yang menempatkan warga Amerika muslim yang ditolak kembali ke AS.

Direktur Eksekutif CAIR, Nihad Awad mengatakan, organisasi yang dipimpinnya memahami kepentingan untuk bertanya pada orang yang sedang bepergian dan kepentingan untuk melindungi keamanan nasional. Tapi, daftar yang melarang terbang itu menjadi senjata untuk menghukum warga muslim Amerika tanpa menyediakan proses yang sesuai.

"Kami sangat prihatin penargetan Muslim AS itu akan mengirimkan pesan yang sangat salah untuk Muslim Amerika bahwa mereka adalah warga negara kelas dua," ujar Awad.

Yahya mengaku dia kini mengalami sulit tidur dan menghabiskan waktunya di kafe internet dan menonton pertandingan Piala Dunia di ruang menonton hotel. Dia tidak berniat kembali ke Yaman dan tidak bisa membayangkan hidup di negara lain.

"Fondasi saya adalah Amerika. Saya hanya ingin makanan rumah. Saya sangat rindu masakan ibu saya," ujarnya lirih.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement