Jumat 11 Jun 2010 01:13 WIB

Mengenang Kembali Kontroversi Imam Perempuan (1)

Red: irf
Amina Wadud dan makmumnya
Amina Wadud dan makmumnya

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Imam perempuan, bukan baru kali ini dijadikan kontroversi. Rencana Raheel Reza, perempuan asal Kanada untuk menjadi imam shalat Jumat di Oxford menyingkap kembali ingatan soal kontroversi serupa yang pernah disulut Amina Wadud. Di tahun 2005, profesor wanita studi Islam di Virginia Commonwealth University ini menggelar shalat Jumat yang juga tidak wajar.

Pertama, ia dan jamaahnya melakukan shalat di tempat yang tak lazim, yakni di ruangan Synod House di Gereja Katedral Saint John The Divine di kawasan Manhattan, New York, Amerika Serikat, 18 Maret 2008. Tempat ini jelas bukan masjid atau surau. Padahal di Manhattan, masjid bertebaran, karena Muslim di daerah ini cukup banyak.

Kedua, ia mengimami sendiri shalat itu, dan jamaah perempuan tidak wajib menutup aurat. Dan ketiga makmumnya tak hanya kaum wanita, tapi juga kaum pria, yang berjajar di shaf yang sama. Sederet 'ketercengangan' juga dibuatnya: sang muadzdzinah (wanita yang melafalkan adzan-red) juga membiarkan rambutnya tergerai. Saat beradzan, ia menghadap para jamaah, bukan menghadap kiblat seperti lazimnya orang sedang adzan.

Dalam acara yang disponsori Muslim Wake Up, organisasi penyeru multikulturisme ini, Amina Wadud, bertindak selaku imam dan khatib. Ia sendiri menyinggung aturan shafnya --laki-laki dan perempuan berbaur-- dengan kalimat, ''Wanita bukanlah seperti dasi yang menjadi pelengkap busana. Kapan pun lelaki melakukan kontak dengan wanita, maka wanita harus diperlakukan secara sejajar dan seimbang.''

Acara shalat Jumat itu sendiri sudah disiapkan jauh-jauh hari. Melihat iklan-iklannya di beberapa situs --antara lain situs resmi Islam Wake Up sendiri-- kegiatan yang dilakukannya memang seperti hendak menarik orang untuk 'menoleh'. Acaranya itu diiklankan dengan judul Historic Jum'ah, alias Jumat Historis. Wadud menyatakan berani menjadi imam shalat Jumat dengan jamaah laki-laki, karena menurut dia, Rasulullah SAW pernah menyuruh Ummu Waraqah menjadi imam shalat Jumat.

Benarkah hadis itu shahih sehingga dijadikan rujukan Wadud yang notabene adalah seorang profesor di bidang studi Islam? Pakar hadis, Prof KH Ali Musthafa Ya'kub, menggelengkan kepalanya. Guru Besar pada Institut Ilmu Alquran (IIQ) Jakarta ini mengajak berlogika begini, "Kalau hadis itu shahih, mengapa para ulama terdahulu tidak memakai hadis tersebut?"

Ia berargumen dengan pertanyaan, mengapa di antara para sahabat, misalnya Aisyah yang ketokohannya tidak diragukan lagi, tidak menjadi imam shalat dengan makmum laki-laki, atau menjadi khatibah (penyampai khutbah-red)? Aisyah memang pernah menjadi imam shalat fardlu dan tarawih, dan hadis shahih tentang itu ada. Hal yang sama juga dilakukan isteri Nabi yang lainnya, yaitu Ummu Salamah. "Tapi mereka hanya menjadi imam shalat yang makmumnya kaum wanita semua," ujarnya saat itu. (bersambung)

Mengenang Kembali Kontroversi Imam Perempuan (2-habis)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement