Selasa 25 May 2010 06:47 WIB

Mengokohkan Jalinan Muslim Indonesia-Australia

Rep: mj02/ Red: irf
Muslim Indonesia saat berdialog di Noble Park School, Victoria, Australia.
Foto: Heri Ruslan/Republika
Muslim Indonesia saat berdialog di Noble Park School, Victoria, Australia.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Australia dan Indonesia terus memupuk persahabatan. Guna meningkatkan pengertian dan pemahaman antara Muslim Australia dan Indonesia, Australia Indonesia Institute (AII) setiap tahun memprakarsai Muslim Exchange Programme (MEP) (Program Pertukaran Muslim).

MEP menjadi sarana bagi kedua negara untuk berbagi pengalaman seputar kehidupan beragama di negara masing-masing. Sabtu (22/5), sejumlah tokoh muda Muslim Australia berkunjung ke Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung, Jawa Barat.

Kehadiran tokoh muda Muslim asal negeri kanguru itu disambut hangat civitas academica UIN Bandung. Kepala Pusat Kerja sama dan Kewirausahaan UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Dr Tajul Arifin, mengatakan, wawasan orang Australia mengenai Muslim Indonesia masih minim sekali.

Sebagian besar orang Australia, kata dia, masih cenderung berpikir bahwa Muslim Indonesia bergaris keras. "Melalui kegiatan ini, diharapkan dapat terbina mutual understanding," ujar Tajul. Terlebih, kata dia, MEP sudah berlangsung selama sembilan tahun. Selama itu pula, papar dia, sudah banyak pemuda Muslim Indonesia dan Australia yang saling berkunjung. "Mereka, orang Australia, yang datang banyak belajar mengenai kehidupan beragama di Indonesia," tutur dia.

Menurut Tajul, MEP menjadi sarana penting bagi Muslim Australia untuk belajar kehidupan beragama. Ia melanjutkan, apalagi di Australia tidak terdapat departemen agama. "Mereka benar-benar mengembangkan agama dari kesadaran dan usaha sendiri. Yang lebih membuat saya terkesan adalah mereka ber asal dari kalangan minoritas.” Tajul menuturkan, Pemerintah Australia sangat menghormati kebebasan dan kepercayaan Muslim, walau pun mereka minoritas. Ia pun berharap agar bentuk kerja sama antara kedua negara ini bisa lebih meningkat.

Menurut Tajul, kerja sama itu harus sama-sama meng untungkan kedua pemerintah. “Kalau masyarakat di dua negara ini sudah saling memahami, hubungan diplomatik akan semakin kuat.” Ia mengatakan, pertukaran seperti itu merupakan sarana belajar yang murah dan efektif untuk mengasah bahasa Inggris bagi para tokoh Muslim masa depan di Indonesia.

Dede Syarif, salah satu alumnus program MEP yang juga dosen UIN Bandung, me ngatakan, program tersebut menjadi celah untuk men jelaskan kesalahpaham an persepsi pihak Australia. Ia menjelaskan, Muslim Indonesia yang ke Australia mem beri penjelasan ke berbagai komunitas agama di sana, termasuk media massa.

Perwakilan tokoh muda Muslim dari Australia yang datang mengunjungi UIN Sunan Gunung Djati Bandung terdiri atas lima orang. Mereka adalah Tamer Galil, Hisham Moustafa, Rufiath Yousuff, dan Mark Padersa. Dalam kunjungannya ke Bandung, mereka juga mengunjungi lembaga pendidikan Muttahari.

Salah seorang peserta MEP, Tamer Galil, mengatakan, kedatangannya ke Indonesia bertujuan untuk memahami budaya dan masalah yang ada di kedua negara. Ia mengatakan, tiap negara punya problem yang unik. “Karena itu, kami ingin bertukar pendapat mengenai apa yang terjadi di Indonesia,” ujarnya.

Lain halnya dengan Rufiath Yousuff. Menurut gadis berkerudung ini, kunjungannya ke Indonesia karena ia begitu terpesona dengan kehidupan Muslimahnya. “Muslimah di negara ini memiliki kesempatan yang luas. Hal itu bisa dilihat dari tampilnya mereka di mana-mana, termasuk media massa,” tutur dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement