Kamis 25 Jan 2018 12:12 WIB
Tarik-Menarik Kepentingan Kemenkeu dan Kemenkes

Ini Penyebab Molornya Sertifikasi Halal

Hingga saat ini BPJPH belum siap menerima dan melayani permohonan sertifikasi halal.

Rep: Novita Intan/ Red: Agus Yulianto
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Niken I Surya Putri (kiri), Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch Ikhsan Abdullah (kedua kiri) serta Kasubit Inspeksi Produk Berlabel Halal Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI Muetia (kanan) menjadi pembicara dala
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Niken I Surya Putri (kiri), Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch Ikhsan Abdullah (kedua kiri) serta Kasubit Inspeksi Produk Berlabel Halal Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI Muetia (kanan) menjadi pembicara dala

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA - Tepat empat tahun sudah Undang-Undang No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) di undangkan. Namun, sampai saat ini, UU itu masih belum dirasakan kehadirannya bagi masyarakat.

Halal Watch Indonesia (HWI) menilai, UU JPH belum memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tumbuhnya dunia industri dan percepatan industri halal. Padahal, sejak di undangkan UU JPH pada 17 Oktober 2014 diharapkan dapat menjadi umbrella provisions dari semua regulasi halal. Tapi realitanya sangat jauh dari yang diharapkan. Begitu juga Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) telah diresmikan pada 10 Oktober 2017 yang lalu.

Direktur Eksekutif HWI Ikhsan Abdullah mengatakan, BPJPH belum dapat berfungsi sebagamana mestinya yang dimandatkan UUJPH. BPJPH menghadapi tantangan yang berat dalam menjalankan tugas sebagaimana layaknya sebuah lembaga baru yang memerlukan waktu untuk menata organisasi dan konsolidasi.

"Hingga saat ini BPJPH belum siap untuk menerima dan melayani permohonan sertifikasi halal. BPJPH belum dapat melakukan sertifikasi halal bagi produsen yang akan melakukan sertifikasi, kendalanya masih banyak infrastruktur di BPJPH yang belum layak," ujarnya kepada Republika.co.id, Jakarta, Kamis (25/1).

Menurutnya, ada beberapa kendala dalam proses BPJPH. Pertama, untuk melakukan sertifikasi menurut UU JPH itu harus dilakukan oleh Lembaga Pemeriksa Halal dan sampai hari ini belum ada satu pun LPH yang mendapatkan akreditasi dari BPJPH MUI.

"Karena lembaga yang berwenang untuk melakukan sertifikasi itu menurut UU, adalah LPH (Lembaga Pemeriksa Halal) dan sampai hari ini pun belum ada satupun LPH yang mendapatkan akreditasi dari BPJPH MUI," ungkapnya.

"Karena lembaga LPH itu yang mengakreditasi dan tidak main-main LPH harus mendapatkan akreditasi dari BPJPH MUI.

"Maka LPH wajib memiliki tiga orang auditor halal, auditor ini harus mendapatkan training dari manapun termasuk BPJPH," ujarnya.

Namun, menurutnya, yang berhak melakukan sertifikasi auditor adalah MUI yang sesuai Pasal 58 angka 2 huruf F. Saat ini, belum ada standarisasi yang dibuat kedua lembaga ini. "Antara BPJPH MUI untuk merumuskan standariasi tadi," ucapnya.

Kedua, terkait tarif yang sampai saat ini BPJPH belum dapat menerbitkan besaran tarif untuk sertifikasi produk halal, karena BPJPH satu lembaga dib awah Kementerian bukan BLU. Sehingga menurut UU tidak dapat dikenakan penetapan tarif kepada umum kecuali intern.

"Siapa yang berhak menentukan tarif, dalam hal ini Menteri keuangan. Untuk memudahkan sertifikasi harus dilakukan sistem, yang saat ini dilakukan LPPOM MUI menggunakan sistem online sehingga orang di daerah bisa lebih mudah kecuali ada verifikasi yang penting," ungkapnya.

Menurutnya, saat ini sistem yang dilakukan BPJPH belum ada, sistem yang menjamin kemudahan bagi pemohon sertifikasi halal. "Jadi, sampai saat ini sistem infrastruktur tersebut belum ada di dalam BPJPH entah sampai kapan dirumuskan," ucapnya.

Terakhir kegundahan Halal Watch terkait Peraturan Pemerintah (PP) masih dalam proses harmonisasi. "Masih dalam proses tarik menarik kepentingan, bahkan Menteri Keuangan ingin agar produk kesehatan seperti vaksin diantaranya dan obat-obatan agar dikeluarkan bukan menjadi bagian dari UU JPH atau dalam kata lain dikecualikan," ucapnya.

Hal ini justru menjadi permasalahan, sebab berdasarkan UU menyebut bahwa semua produk yang beredar di masyarakat harus bersertifikasi halal apapun produknya, baik makanan, minuman, obat-obatan, kosmetik, rekayasa teknologi dan barang gunaan.

"Jika hal tersebut dikecualikan seharusnya UUnya harus diamputasi, jadi sederhananya belum jalan sudah dijegal dan ini yang menjegal justru Kementerian Kesehatan harusnya aparatur pemerintah yang menjadi teladan," ungkapnya.

"Kami juga sudah menyampaikan, agar dibuat timeline jangan justru mengganggu. Artinya dikalangan pemerintah sendiri tidak sinkron dan hal ini yang menjadi problem," ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement