Ahad 13 Sep 2015 23:07 WIB

Kehadiran Muslim Afrika Tengah Ditoleransi Tapi Ada Syaratnya

Republik Afrika Tengah
Foto: africannews
Republik Afrika Tengah

Oleh: Harun Husein

 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di negara penghasil berlian, emas, minyak, uranium, Muslim memang minoritas. Populasi Muslim hanya sekitar 750 ribu orang, atau sekitar 15 persen dari lima juta penduduk Afrika Tengah. Menurut data state.gov, agama terbesar di sana adalah Protestan, yang penganutnya mencapai 51 persen, disusul Katolik Roma sebanyak 29 persen. Muslim di sana adalah Sunni bermazhab Maliki.

 

Sejak konflik besar meletus akhir 2013 lalu, sebagian besar Muslim pengungsi.. Hanya sebagian kecil yang bertahan, antara lain di beberapa kantong pemukiman Muslim yang dijaga Pasukan Perdamaian PBB. Amnesty Internasional menyebut jumlah Muslim di kantong-kantong tersebut sekitar 30 ribu orang. Kantong-kantong ini berlokasi di Afrika Tengah bagian barat seperti Bangui (ibu kota Afrika Tengah), Boda, Yaloke, Carnot, Bouar, dan Dekoa.

Karena jumlah pasukan perdamaian terbatas, banyak kantong-kantong Muslim dan desa-desa yang dihuni Muslim tak mungkin dijaga, dan akhirnya tak dapat bertahan. "Banyak kota dan desa yang sebelumnya dihuni komunitas Muslim, sekarang kosong. Masjid-masjid ditinggal kan begitu saja dalam keadaan rusak parah atau telah hancur, dan panggilan adzan yang sebelumnya sangat akrab, kini tak terdengar lagi," tulis Amnesty Internasional.

Di mana pun di Afrika Tengah, tulis Amnesty, Muslim tidak dapat menjalankan agamanya, atau menunjukkan simbol-simbol Islam, kecuali di kantong-kantong yang dijaga pasukan PBB. Di beberapa kawasan lainnya, kehadiran Muslim ditoleransi, dengan syarat mereka tidak menunjukkan identitas dan keyakinannya.

"Ini berarti mereka tidak boleh shalat (kecuali secara rahasia); tidak bisa mengenakan pakaian tradisional Muslim seperti djellabas (boubous), dan tidak bisa membangun kembali masjid-masjid yang telah rusak atau hancur."

Muslim yang masih ditoleransi kehadirannya oleh Anti Balaka, bergantung pada etnik dan bangsa, serta hubungan kekerabatan dengan komunitas Kristen. Muslim pribumi dari etnik Gbaya, misalnya, termasuk di antara yang diizinkan tinggal.

Muslim yang masih bisa bertahan di rumah dan desanya adalah orang-orang yang ibunya adalah penganut Kristen, sehingga tidak dianggap sebagai orang asing dibanding Muslim lain. Begitu pun dengan Muslim keturunan Mali dan Senegal, juga termasuk yang bisa diterima, karena dianggap netral dalam konflik.

Sementara, Muslim Afrika Tengah keturunan Chad atau Sudan, atau punya kakek-nenek dari sana, akan dipandang sebagai musuh. "Orang Arab [keturunan Chad dan Sudan] tidak akan pernah dibiar kan kembali," seorang Muslim menceritakan kepada Amnesty Internasional. "Bagi Milisi Anti Balaka, mereka punya hubungan dengan Seleka." Seleka adalah milisi Muslim yang merupakan lawan Milisi Anti Balaka.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement