Selasa 31 Mar 2015 11:51 WIB

Proyek Jihad dan Radikalisme Islam ala Kekaisaran Jerman

Suasana di kamp tahanan perang Halbmondlager atau dikenal juga ‘Half Moon Camp’ di Jerman
Foto: Canada.com
Suasana di kamp tahanan perang Halbmondlager atau dikenal juga ‘Half Moon Camp’ di Jerman

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada 10 Maret lalu situs amazon.com resmi menjual buku The Fall of the Ottoman: The Great War in the Middle East.

Buku yang ditulis oleh Eugene Rogan ini tidak saja membahas jatuhnya Kekhalifahan Utsmaniyah Eropa, tapi juga mengungkap kembali usaha negara-negara Eropa, pada Perang Dunia I, untuk memanfaatkan jihad dan radikalisme Islam demi kepentingan negara masing-masing.

Menurut PBS Newshour, buku ini membahas kembali keberadaan kamp tahanan perang Halbmondlager atau dikenal juga ‘Half Moon Camp’ di Jerman, yang lama disembunyikan faktanya.

Pengungkapan eksistensi tahanan ini berakibat pada terungkapnya kembali kebijakan yang cukup aneh Kaiser Wilhem II yang menjabat sampai 9 November 1918.

Kebijakan itu adalah menjadikan jihad dan radikalisme Islam sebagai 'senjata rahasia' mengalahkan lawannya yang saat itu adalah Inggris dan Prancis.

Jerman yang secara kultural mengklaim sebagai Roma Ketiga itu, memulai kebijakan ini usai menandatangani perjanjian rahasia dengan Sultan Mehmed V pada 2 Agustus 1914. Saat itu kedua imperium ini menjadi sekutu.

Para penghuni yang merupakan tahanan perang Muslim bekas pasukan Inggris dan Prancis ini dididik untuk melakukan aksi-aksi jihad termasuk menghalalkan pembunuhan terhadap pasukan Inggris dan Prancis yang oleh orang Jerman itu dianggap kafir.

Namun sayangnya, kebijakan Jerman ini kelihatannya tidak seberhasil kebijakan sama yang dilakukan Inggris saat itu. Para agen Inggris malah sukses memprovokasi penduduk Arab di Kekahalifahan Ustmaniyah untuk jihad memberontak melawan penguasa Utsmaniyah yang digambarkan sebagai pemimpin yang murtad. Peristiwa ini dikenal dengan nama Arab Revolt.

Hampir semua negara Arab melepaskan diri dari Utsmaniyah dan kekuasaan Inggris menjadi langgeng di wilayah tersebut.

Tidak dijelaskan apakah buku tersebut membahas apakah kebijakan eksploitasi jihad itu masih ada yang menerapkannya sekarang atau tidak, dan bagaimana efeknya pada peradaban. Tapi, sejarah mencatat President Ferdinand Marcos di Filipina, pada 1968, pernah membuat program seperti ini tapi mengalami kegagalan.

Para taruna Muslim yang dilatih militer Fiipina untuk berjihad menolak melanjutkan misi. Akibatnya mereka dibantai. Peristiwa ini dikenal dengan nama Jabidah Massacre.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement