Jumat 05 Jul 2013 19:50 WIB

Suka Cita Menyambut Ramadhan

Spaduk selamat datang Bulan Ramadhan.
Foto: Republika/Agung Supri
Spaduk selamat datang Bulan Ramadhan.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ustaz Nasikh Nashrullah

Puasa memiliki dimensi spiritual dan sosial.

Berbahagialah. Karena, Ramadhan kembali menyapa. Tak setiap orang memiliki kesempatan yang sama. Maka, bersyukur dan berbagilah kabar gembira tersebut. Yaitu, dengan memberikan kabar gembira dan memotivasi sesama. Ini bisa dilakukan dengan berbagi informasi perihal keutamaan Ramadhan.

Rasulullah SAW juga sering menerapkannya kepada para sahabat. Misalnya saja, dalam hadis riwayat Nasai, “Telah datang kepada kalian Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah mewajibkan atas kalian berpuasa. Pintu langit dibuka dan pintu neraka ditutup.”

Ada segudang amalan yang bisa dilakukan sepanjang Ramadhan. Rentetan ibadah itu, selain pahalanya berlipat, juga memiliki dimensi berlapis yang meliputi dimensi individual begitu pula sosial. Penyambutan Ramadhan itu bisa dimulai sejak Rajab dan Sya’ban.

Di Sya’ban, seperti diuraikan oleh Syekh Faishal bin Ali Al Bu’dani dalam bukunya yang berjudul Hakadza Kana An Nabiyy fi Ramadhan, Rasulullah memperbanyak puasa selama Sya’ban.

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Bukhari Muslim dari Aisyah RA. Rasulullah paling tampak berpuasa sunah di Sya’ban.

Ada banyak prediksi maksud di balik pelaksanaan puasa pada bulan tersebut. Puasa itu dilakukan sebagai persiapan dan pemanasan menghadapi Ramadhan. Opsi lain menyebutkan bahwa Rasulullah melakukannya untuk menemani istrinya yang mengganti puasa Ramadhan di Sya’ban.

Tetapi, menurut Ibnu Hajar, analisis paling kuat merujuk pada hadis Usamah bin Zaid bahwa puasa Sya’ban termasuk anjuran Rasulullah. Pasalnya, amalan ini sering terlupakan.  

Selain itu, aktivitas yang cukup mendukung untuk menyambut Ramadhan ialah mengkaji dan mendalami hal ihwal Ramadhan. Bisa meliputi keutamaan, tata cara, dan persoalan hukum fikih.

Banyak riwayat yang menggambarkan penjelasan Rasulullah atas berbagai soalan terkait puasa. Kini, uraian tentang Ramadhan bisa diperoleh dari beragam cara. Bisa lewat majelis taklim, bacaan buku, internet, ataupun media.

Syekh A’idh bin Abdullah Al Qarni pada bukunya Aqbalta Ya Ramadhan menambahkan, dalam rangka menyambut Ramadhan, hal terpenting yang perlu ditempuh, yaitu menyiapkan mental dan spiritual.

Terutama, meletakkan pemahaman bahwa lewat Ramadhan, Allah akan menguji iman seseorang. Sejauh manakah kualitas keimanannya. “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi.” (QS al-Ankabuut [29] : 2).

Karena itulah, kata Syekh Al Qarni, posisi niat sangat menentukan. Berpuasa hendaknya didasari dengan niat dan iktikad beribadah. Tanpa niat maka ia tak berhak atas pahala.

Sangat disayangkan sebagian orang berpuasa tanpa niat yang jelas. Mereka melakukannya atas dasar kebiasaan. Ikut-ikutan puasa, seperti orang tua, kerabat, dan tetangga. “Maka, berniatlah karena Allah,” tulisnya.

Syekh Al Qarni juga menggarisbawahi agar mengisi Ramadhan dengan beribadah. Bukan malah menghabiskan hari-hari Ramadhan dengan tidur sepanjang waktu.

Ada saja kebiasaan negatif selama Ramadhan. Tidur dari ba’da shubuh hingga siang, bahkan dari siang ada pula yang sampai sore jelang berbuka. “Kesempatan ini terlalu langka untuk disia-siakan,” katanya menegaskan.

Jelang Ramadhan, ujar Syekh Al Qarni, tingkatkan intensitas membaca Alquran. Ini akan sangat membantu memaksimalkan Ramadhan dengan baca-bacaan Alquran.

Keutamaannya pun berlipat ganda. Pasalnya, di bulan inilah kitab suci umat Islam tersebut diturunkan. “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil).” (QS al-Baqarah [2] : 185).

Para salaf memaksimalkan Ramadhan untuk berinteraksi penuh dengan Alquran. Imam Malik bin Anas berhenti sejenak dari aktivitas taklim dan memberikan fatwa selama Ramadhan Pencetus Mazhab Maliki ini fokus membaca Alquran. Imam as-Syafi’i konon mengkhatamkan Alquran 60 kali selama bulan suci itu.

Lalu, perbanyaklah berbuat bagi sesama dan berbuat sedekah. Rasul, seperti dinukilkan Ibnu Abbas, adalah sebaik-baik manusia ketika Ramadhan. Ini dilakukan pula oleh para generasi salaf.

Abdullah bin Umar tak pernah melewatkan berbuka dengan dhuafa. Hamad bin Abi Sulaiman memberi hidangan berbuka untuk 500 orang miskin tiap harinya. Ketika Idul Fitri, ia memberikan mereka per orang 100 dirham.

Selain itu, berusahalah menghidupkan malam Ramadhan dengan ibadah. Mulai dari shalat tarawih, tahajud, witir, atau berzikir. Rasulullah, seperti dikisahkan oleh Aisyah, senantiasa menjaga shalat malam di Ramadhan sekalipun kondisi kesehatan badan kurang mendukung.

Abu Hurairah juga demikian. Sahabat periwayat hadis itu bahkan membuat tugas jaga malam di internal keluarganya. Ini agar anggota keluarganya bisa bertahajud.

Jaga lisan. Barang siapa berpuasa, namun tak mampu menjaga lisan dengan tetap menggunjing, menebar fitnah, berdusta, berkata kasar, atau tak pantas, sejatinya puasanya nihil makna dan pahala.

Penegasan ini terdapat di hadis Bukhari dari Abu Hurairah. Ali bin Abi Thalib pernah bertutur, hakikat puasa bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, melainkan menjauhi perkataan yang dusta, batil, dan nista.   

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement