Selasa 07 Feb 2012 17:26 WIB

Fikih Muslimah: Aurat Perempuan dalam Interaksi Sosial (1)

Rep: Syahruddin El Fikri/ Red: Chairul Akhmad
Wanita yang menutup aurat (ilustrasi).
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Wanita yang menutup aurat (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Perempuan adalah salah satu makhluk Allah yang paling istimewa. Kenapa? Karena banyak kekhususan (spesialisasi) yang diberikan kepadanya dan tidak diberikan kepada laki-laki. Di antaranya, perempuan diberikan keistimewaan untuk mengandung, melahirkan, dan menyusui.

Bahkan, secara khusus, dalam Alquran terdapat satu surah yang bernama An-Nisaa`, yang bermakna para perempuan. Surah ini terdiri atas 176 ayat dan masuk dalam kategori surah Madaniyyah, yang diturunkan di Madinah. Surah ini merupakan yang terpanjang dalam kategori Madaniyah sesudah surah Al-Baqarah.

Dinamakan surah An-Nisaa` karena di dalamnya banyak membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan perempuan dibandingkan surah-surah lainnya.

Perempuan adalah makhluk yang paling indah dan menarik, seperti perhiasan. Karena itu, banyak orang yang senantiasa menyukai dan menyenanginya.

Dalam salah satu sabdanya, Rasulullah SAW menyatakan, "Dunia ini adalah perhiasan, dan sebaik-baiknya perhiasan adalah istri yang salehah." (HR Muslim). Karena itulah, perempuan selalu banyak menarik perhatian terutama lawan jenisnya (laki-laki).

Dalam hal demikian, agama Islam mengajarkan umatnya untuk senantiasa bergaul dengan baik, namun tetap menjaga etika, adab, dan moralnya, termasuk dalam hal berpakaian untuk menutupi auratnya.

Sebagaimana dijelaskan dalam berbagai kitab Fikih, aurat wanita adalah seluruh badannya kecuali muka dan telapak tangan. Dalam sebuah hadis hasan sahih yang diriwayatkan Tirmidzi, dikatakan, sesungguhnya seluruh tubuh perempuan adalah aurat. ''Perempuan itu adalah aurat.''

Berkaitan dengan hal ini, kapankah seluruh tubuh wanita kecuali muka dan dua telapak tangan menjadi bukan aurat, terutama saat berinteraksi sosial dengan orang lain? Padahal, dalam kehidupan dunia modern saat ini, sangat sulit menghindari pertemuan antara laki-laki dan perempuan. Bahkan, tak jarang keduanya saling membutuhkan untuk kerjasama dalam banyak bidang.

Menurut Imam Muhammad bin Idris As-Syafi'i (150-204 H), batas aurat perempuan adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan dua telapak tangan. Mayoritas ulama juga menyepakatinya.

Lalu sampai batas mana, khususnya bagi perempuan untuk diperkenankan atau diperbolehkan membuka auratnya? Apakah saat sendirian, di hadapan suaminya, anggota keluarganya, atau lainnya?

Melihat diri sendiri

Dalam hal melihat dirinya sendiri, Imam Hanafi dan Hanbali menyatakan, orang yang sudah mukallaf --sudah terkena kewajiban mendirikan shalat dan ibadah fardhu lainnya atau dewasa--tidak boleh membuka auratnya di samping orang yang tidak dihalalkan untuk melihatnya. Begitu juga kalau sendiri, kecuali karena darurat seperti buang air besar atau kecil atau mandi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement