Jumat 09 Feb 2018 06:30 WIB

Ini Pengalaman Perawat Berjilbab di Pedalaman Papua

Masyarakat kampung menghormati keduanya meskipun berbeda agama.

Rep: Muhyiddin/ Red: Agus Yulianto
Warga Asmat saat diberikan bimbingan kesehatan oleh relawan Aksi Cepat Tanggap (ACT) di Kampung Yausakor, Distrik Siret, Kabupaten Asmat, Rabu (7/2).
Foto: Republika/Muhyiddin
Warga Asmat saat diberikan bimbingan kesehatan oleh relawan Aksi Cepat Tanggap (ACT) di Kampung Yausakor, Distrik Siret, Kabupaten Asmat, Rabu (7/2).

REPUBLIKA.CO.ID, Selama ini, tak banyak yang mengetahui tentang kehidupan warga Asmat yang hidup di pedalaman Papua. Namun, setelah adanya kejadian luar biasa (KLB) wabah campak dan gizi buruk, nama Asmat disebut-sebut di tingkat nasional maupun Iternasional.

Rabu (7/2) kemarin, Republika.co.id sempat menjelajah ke pedalaman Kabupaten Asmat, tepatnya di Kampung Yausakor, Distrik Siret. Tidak mudah untuk mencapai kampung ini, karena harus naik kapal selama empat jam dari Distrik Agats, Pusat Pemerintahan Kabupaten Asmat.

photo
Warga Asmat saat diberikan bimbingan kesehatan oleh relawan Aksi Cepat Tanggap (ACT) di Kampung Yausakor, Distrik Siret, Kabupaten Asmat, Rabu (7/2).

Saat tiba di kampung ini, tampak anak-anak kecil Papua berlarian sambil melambaikan tangan dan kapal pun bersandar di pelabuhan kecil kampung tersebut. Tak jauh dari tempat kapal kami bersandar, tampak sebuah Puskesmas kecil.

Pukesmas ini memiliki 26 tenaga kesehatan yang terdiri dari perawat, bidan, dan ahli gizi. Salah seorang perawat, Devi Dewiana (26 tahun). Dia mengatakan, banyak tantangan yang dihadapinya saat mengabdi di kampung ini.

"Ya tantangannya kemarin pas imunisasi, kita panggil masyarakatnya dia kadang tidak mau. Dia kan takut disuntik," ujar Devi saat diwawancara Republika.co.id.

Perawat berjilbab asal Makasar ini sudah setahun mengabdi di kampung ini. Namun, Devi tak pernah lelah untuk menolong anak-anak pedalaman yang terkena penyakit, seperti malaria, campak ataupun gizi buruk.

Menurut dia, pemahaman warga kampung Yausakor memang masih kurang akan pentingnya kesehatan, Namun, hal itu ia jadikan tantangan tersendiri. "Masyarakat di sini itu pemahamannya masih kurang. Dia kan pendidikannya madih rendah. Kadang kalau kita datang ke sana berlarian ke mana. Tapi kita edukasi, beri pengertian, tapi dia tetap tidak mau," ucapnya.

"Itu orang tuanya yang tidak mau bawa," imbuhnya.

Di Puskedmas ini tidak ada dokter. Karena itu, jika ada pasien yang sakit parah harus dirujuk ke rumah sakit Agats. Namun, menurut dia, masyarakat tidak sedikit yang menolak untuk dirujuk karena belum mengerti tentang kesehatan.

"Nah, kadang pasien tidak mau dirujuk. Kalau tidak mau rujuk kita kasih tanda tangan penolakan tindakan rujukan," kata Devi.

photo
Warga Asmat saat diberikan bimbingan kesehatan oleh relawan Aksi Cepat Tanggap (ACT) di Kampung Yausakor, Distrik Siret, Kabupaten Asmat, Rabu (7/2).

Hal senada juga diungkapkan perawat berjilbab lainnya yang juga bertugas di Kampung Yausakor, Ria Amriana (26). Namun, menurut dia, selama mengabdi di kampung ini belum ada pengalaman yang sampai diusir dari rumah warga, karena pelayanannya dilakukan di puskesmas pembantu (Pustu).

"Untuk sementara belum pernah (diusir). Kan pelayaannya kita di pustu di kampung-kampung," ujarnya.

Setelah Devi dan Ria melakukan pengabdian di kampung tersebut, kesadaran masyarakat sudah semakin meningkat tentang kesehatan karena keduanya terus melakukan edukasi. Masyarakat kampung ini juga menghormati keduanya meskipun berbeda agama.

"Ya udah ada peningkatannya. Ada sekitar 50 persen lebih peningkatannya. Cuma kalau di kampung sini (Yausakor) ada sekolah SMP dan SD. Nah di kampung lain juga ada sekolah cuma merekanya yang malas ke sekolah. Kadang mereka ke bivak mencari kayu hitam (gaharu)," ujar Ria.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement