Kamis 11 Jan 2018 17:45 WIB

Menyikapi Epidemi

Rep: Nashih Nasrullah/ Red: Agung Sasongko
Simulasi Penanggulangan Penyakit/Ilustrasi
Foto: Antara
Simulasi Penanggulangan Penyakit/Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kala itu, wabah penyakit telah menjalar di daerah Syam — kini Suriah — semasa Umar bin Khattab menjabat se bagai khalifah. Suatu saat, so sok yang bergelar al-Faruq itu hen dak berkunjung ke daerah positif wabah tersebut. Kabar me ngenai kondisi lokasi itu telah di ketahui olehnya. Ia pun lantas ber kon sultasi dengan para sahabat. Keputusannya, rombongan ba tal memasuki Suriah dan memutuskan kembali pulang.

Merasa heran dengan hal itu, Abu Ubai dah bin al-Jarrah bertanya, apa alasan yang digunakan oleh sang Kha lifah? Abu Ubaidah beranggapan, bukankah keputusan semacam itu merupakan bentuk lari dari takdir Allah? Umar pun menjawab, “Seandainya bukan engkau yang ber tanya wahai Abu Ubai dah. Coba pikirkan, bila ada dua lembah yang satu tandus dan lain nya su bur. Jika engkau mengelola yang subur, apakah ini dianggap lari dari takdir Allah? Ini adalah penggalan kisah yang bisa dimaknai salah satunya sikap mengha dapi wabah penyakit yang me rebak.

Ragam penyakit menular dapat menyebar di sebuah komunitas dengan cepat. Penyebaran itu se ring disebut dengan epidemi. Ya itu, penyakit yang timbul sebagai kasus baru pada suatu populasi tertentu manusia, dalam suatu periode waktu tertentu, dengan laju yang melampaui laju perhitungan yang didasarkan pada pe ngalaman mutakhir. Bila cakupan penyebaran lebih meluas hingga level global, maka wabah itu di sebut dengan pandemi.

Sepanjang sejarah peradaban manusia telah terjadi banyak wabah besar. Frekuensinya cukup signifikan. Penyakit dalam wabah tersebut biasanya berupa penya kit yang ditularkan hewan dan terjadi bersama dengan domesti kasi hewan. Misalnya, influensia dan tuberkulosa. Salah satu wabah mematikan yang pernah ada ialah Pes.

Wabah Justinian, demikian dikenal luas, mulai muncul pada 541 Masehi di Mesir. Wabah pes bubonik yang pertama tercatat dalam sejarah. Wabah ini dimulai di Mesir dan merebak sampai Konstantinopel pada musim semi tahun berikutnya. Dampak wa bah ini menyebabkan 10 ribu orang tewas tiap hari.

Bahkan, memakan korban hing ga seperempat populasi di Mediterania timur. Wabah The Black Death juga pernah menjadi catatan kelam dalam sejarah. Pe nyakit itu menewaskan tak ku rang dari dua puluh juta orang Eropa dalam waktu enam tahun. Di era kini, beberapa contoh ka sus penyakit yang dinyatakan pan demi, antara lain, Flu H1N1 yang dulu dikenal dengan Flu Ba bi dan sejumlah penyakit serupa yang ditularkan dari hewan ke manusia.

Ada banyak cara yang bisa ditempuh untuk menanggulangi dan mencegah penyebaran wabah tersebut. Islam menaruh perhati an besar terkait fenomena epi demi atau pandemi. Karena itu, Rasulullah menggariskan sejumlah kaidah penting menyikapi kemunculan wabah di tengahtengah umat Islam. Implementasi kaidah itu, antara lain, ada yang berfungsi sebagai upaya pencegahan dan terdapat pula yang di posisikan sebagai langkah pe nanggulangan.

Di level pertama, yaitu pencegahan, Islam menekankan pen tingnya menjaga kebersihan ba dan, pakaian, makanan seharihari, dan lingkungan. Allah SWT berfirman dalam surah al-Mud datsir ayat ke-4 : “Dan, pakaianmu bersihkanlah.” Di bagian lain nya, Rasulullah menegaskan, ke bersihan merupakan senjata am puh membentengi dari serangan penyakit. Karena itu, Nabi SAW mengaitkan hubungan kuat anta ra iman dan kebersihan. Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Malik al-Harits bin ‘Ashim al- Asy’ari menguatkan hal itu. Bah wasanya Rasulullah bersabda, “Kebersihan sebagian dari iman.” (HR Muslim).

Pada jenjang yang kedua, yaitu penanggulangan agar virus wabah tak menyebar luas, Rasulullah menyerukan isolasi dan sterilisasi lokasi yang terjangkit wabah. Tin dakan ini dimaksudkan supaya ruang gerak virus tersebut terbatas pada wilayah tertentu. Pen tingnya isolasi tersebut telah di serukan oleh Rasulullah 14 abad silam. Ini sebuah indikasi kuat, Islam peduli terhadap fenomena wabah. Islam melarang seseorang mendatangi daerah yang positif terkena wabah, sebagaimana di ung kapkan oleh Rasulullah. Diri wayatkan dari Abdurrahman bin Auf RA, Rasulullah bersabda, “Bila kalian mendengar wabah tengah mendera suatu daerah, maka janganlah kalian memasukinya, dan jika menyerang wilayah kalian, maka janganlah engkau melari kan diri.” (HR Bukhari).

Pengisolasian ini pun diterapkan dengan baik oleh sahabat. Adalah Umar bin Khattab, dalam kelanjutan kisah di atas, lantas menulis surat ke Abu Ubaidah bin al-Jarrah. Isinya tentang permin taan pengisolasian lokasi wabah di Suriah. Umar memerintahkan agar tak satu pun meninggalkan lokasi itu. Hal ini sebagai langkah antisipasi dan menekan kemungkinan penyebarluasan wabah.

Melarikan diri dari lokasi wabah oleh mereka yang sejak awal ber ada di tempat itu, oleh Islam disa makan dengan tindakan kabur dari medan perang. Hal ini seperti tertuang di riwayat Jabir bin ‘Abd al-Anshari. Hadis yang dinukil oleh imam Ahmad itu menegas kan bahwa siapa pun yang lari dari wabah seperti pengecut yang lari dari medan perang.

Diangkat derajatnya

Wabah yang mengepung suatu daerah merupakan bentuk ujian yang datang dari Allah. Bagi Muk min yang terkena penyakit menular tertentu, selama ia ber sabar maka Allah menjanjikan pahala yang besar baginya, yaitu ganjaran yang sama kualitasnya dengan balasan setimpal untuk seorang syahid. Sebaliknya, se buah epidemi tertentu yang me nimpa golongan kafir bisa berarti sebuah siksaan yang ditampakkan di dunia.

Diriwayatkan dari Aisyah RA, ia pernah bertanya kepada Rasulullah tentang wabah kolera. Rasulullah SAW menjawab, tiap wabah itu dapat bermakna sik saan bagi yang Ia kehendaki. Te tapi, wabah bagi orang beriman adalah bentuk rahmat. Selama ada kesabaran yang kuat dari mereka yang terjangkit, maka ia berhak mendapatkan pahala se ba gaimana balasan bagi para syahid. (HR Bukhari).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement